Senin, 03 Oktober 2016

TALAK DALAM KEADAAN MABUK

Talak dalam keadaan mabuk, dengan tidak sengaja, Talak tiga sekaligus dalam satu waktu menurut beberapa pendapat

A.    Mentalak dalam Keadaan Mabuk
  Di antara syarat talak adalah suami yang mengucapkan talak itu berakal. Ini berarti orang yang dalam keadaan tidak sadar, tidak sah talaknya. Contohnya adalah orang yang dalam keadaan mabuk. Masalah ini seringkali kita lihat, yaitu ada suami yang sebelumnya memiliki masalah dengan istrinya menjatuhkan talak dalam keadaan ia mabuk karena memang ia pecandu miras. Dan kita tahu bahwa mabuk jelas haram. Mengenai status talak orang yang dalam kondisi mabuk, itulah yang akan dibahas
  Perlu diketahui bahwa orang yang mabuk itu ada dalam dua keadaan:
  Pertama orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja. Misalnya karena mengkonsumsi suatu makanan malah jadi mabuk padahal tidak disengaja untuk mabuk, lalu dalam keadaan seperti itu ia mentalak istrinya. Misal lainnya adalah seperti mabuk dalam keadaan dipaksa. Kondisi seperti ini tidaklah jatuh talak berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
               Kedua orang yang mabuk dalam keadaan sengaja. Seperti seseorang yang meminum miras dalam keadaan tahu dan atas pilihannya sendiri, lalu dalam kondisi semacam itu ia mentalak istrinya. Hukum talak dalam kondisi kedua ini diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa talaknya itu jatuh. Sedangkan ulama lainnya seperti pendapat lama dari Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh Al Muzani (murid Imam Asy Syafi’i), pendapat Ath Thohawi (salah seorang ulama besar Hanafiyah) dan pendapat lain dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa talak dalam keadaan mabuk sama sekali tidaklah sah entah mabuknya disengaja ataukah tidak. Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah sebagaimana perkataan yang akan kami nukil.[1]
                  Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatukan oleh orang mabuk. Imamiyah mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu, mazhab empat berpendapat bahwa, talak orang mabuk itu sah manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri. Akan tetapi manakala yang ia minum itu minuman mubah (kemudian dia mabuk) atau dipaksa minum (minuman keras), maka talaknya dianggap tidak jatuh.[2]  
Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah yang menyatakan tidak sahnya talak dalam keadaan mabuk meski mabuknya dengan sengaja atas pilihan sendiri. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An Nisa: 43).
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa perkataan orang yang mabuk tidak teranggap karena ia sendiri tidak mengetahui apa yang ia ucap. Shalat dan ibadahnya tidaklah sah karena saat itu ia tidak berakal. Begitu pula kita lebih pantas lagi katakan dalam hal akad seperti talak, yaitu talaknya tidak sah karena ia semisal orang yang tidur dan orang yang gila (sama-sama tidak memiliki niat).

Kedua Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907). Orang yang mabuk tentu saja tidak memiliki niat dan tidak memiliki maksud. Padahal berbagai macam akad (termasuk talak) disyaratkan dengan adanya niat.
Ketiga riwayat shahih dari ‘Utsman radhiyallahu ’anhu, ia berkata, 

كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقُ النَّشْوَانِ وَ طَلاَقُ المجْنُوْنَ

“Setiap talak itu boleh (sah) selain talak yang dilakukan oleh orang yang mabuk atau orang yang gila.” (HR. Sa’id bin Manshur 1112, ‘Abdur Rozaq 12308, Ibnu Abi Syaibah 5/39, Al Baihaqi 7/359. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْ الصَّحَابَةِ خِلَافُهُ فِيمَا أَعْلَمُ

“Selama yang kami ketahui tidak didapati dari para sahabat yang menyelisihi perkataan ‘Utsman.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/102)
Keempat riwayat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwasanya beliau didatangkan seseorang yang telah mentalak istrinya sedangkan ia dalam keadaan mabuk. Ia pun bersumpah pada Allah yang tidak ilah yang berhak disembah selain Dia bahwa ia benar-benar melakukan talak namun dalam keadaan tidak sadar. Ia bersumpah. Namun istrinya dikembalikan padanya. Dan laki-laki tersebut terkena hukuman had. (HR. Sa’id bin Manshur 1110 dan Ibnu Abi Syaibah 5/39. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Kelima Ibnu Taimiyah memberi penjelasan, “Orang yang mabuk sudah jelas bahwa ia memang bermaksiat ketika mabuk. Saat dalam keadaan mabuk, ia tidak mengetahui apa yang ia katakan. Jika ia tidak tahu ucapan yang ia keluarkan, maka tentu ia berkata tanpa niat. Padahal dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya”. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang bisa gila karena mengkonsumsi sesuatu. Jika ia gila walaupun asalnya karena maksiat yang ia lakukan, maka tetap talaknya tidak sah. Begitu pula perkataan yang lain yang muncul darinya juga tidak sah. Jika setiap orang memperhatikan tujuan dan maksud syari’at, jelaslah baginya bahwa pendapat yang benar adalah yang menyatakan talak orang yang mabuk tidaklah sah. Pendapat yang menyatakan bahwa talak dari orang yang mabuk itu sah, bukanlah pendapat yang dibangun di atas argumen yang kuat. … Yang benar dalam hal ini, talak dalam keadaan mabuk itu tidaklah jatuh kecuali jika orang tersebut menyadari apa yang ia ucap. Sebagaimana pula shalat orang yang mabuk tidaklah sah. Jika shalatnya tidak sah, maka demikian pula dalam hal talak. AllahTa’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/103)
Dari bahasan ringkas di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja atau bahkan sengaja, talaknya tidak sah karena saat mabuk tidak memiliki akal sehingga tidak ada niat.[3]

B.  Hukum menjatuhkan talak tiga sekaligus dalam satu waktu
Fatwa dalam madzhab Maliki
 Dalam kitab Muqaddimah jilid II/76-77 disebutkan sebagai berikut : “Dan begitu juga tidak boleh menurut imam Malik mentalak istri dengan talak tiga sekaligus, namun kalau dilakukan juga, maka jatuhlah talak tiga. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla ; ‘Demikianlah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu melampauinya dan barang siapa melampaui batasan-batasan Allah, maka ia telah menganiaya dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui bahwa mungkin Allah akan mendatangkan sesuatu perkara sesudah yang demikian itu’. Perkara dimaksud adalah rujuk. Maka Allah telah menjadikan wanita dimaksud, sebagai wanita yang hilang (tidak dapat lagi didekati oleh suami) dengan sebab jatuhnya talak tiga sekaligus, karena kalau (talak seperti itu) tidak jatuh dan tidak pula mempunyai akibat hukum niscaya tidaklah dia kehilangan isteri dan tidak pula dia menganiaya diri sendiri. Dan tidak pula Rasulallah saw mengharuskan Abdullah bin Umar untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya pada waktu haidh dimana beliau saw bersabda:  ‘Suruh dia merujuk isterinya’. Ini juga menunjukkan bahwa talak yang berdasarkan sunnah atau tidak berdasarkan sunnah dihukumkan jatuh dan dialah madzhab para fuqaha dan ulama-ulama Islam pada umumnya. Tidak ada yang menyimpang dari mereka dalam masalah ini kecuali segelintir orang yang penentangannya itu tidak perlu diperhatikan”. 
Berdasarkan keterangan dalam kitab Muqaddimah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Menurut madzhab Maliki tidak boleh menjatuhkan talak tiga sekaligus, tetapi kalau itu terjadi maka talak dianggap sah dan berlaku sebagai talak tiga. Dalilnya ialah firman Allah dalamsurat at-Thalaq ayat 2, yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjatuhkan talak dengan cara yang bukan sunnah, maka berarti ia telah menganiaya diri sendiri, dikarenakan ia tidak boleh kembali kepada istrinya itu, padahal sewaktu-waktu ia bisa saja berubah pikiran yakni bermaksud untuk kembali, namun hal itu sudah tidak mungkin dikarenakan oleh perbuatannya sendiri. Ini adalah bukti bahwa talak tiga sekaligus yang bukan menurut sunnah adalah terhitung talak tiga. Karena kalau cara yang seperti itu tidak sah dan tidak berlaku, maka tentulah ia tidak kehilangan isteri dan tidak pula teranggap menganiaya diri sendiri.Nabi saw menyuruh Ibnu Umar supaya ia kembali kepada istrinya yang diceraikan nya ketika tengah haid dan cerainya dihitung satu kali. Walaupun talaknya itu tidak menurut sunnah namun toh talaknya jatuh juga.
Dan dalam kitab Muqaddimah disebutkan juga bahwa fatwa seperti ini adalah fatwa para ulama ahli fiqih dan mayoritas ulama Islam. Yang keluar dari fatwa ini hanyalah segelintir orang yang tidak perlu diperhatikan.[4]

Fatwa dalam madzhab Syafi’i
 Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm jilid V/138 menyebutkan: “Allah swt telah berfirman ‘Talak itu dua kali, maka boleh kamu rujuk lagi secara patut atau melepaskannya dengan cara yang baik’. Allah swt juga berfirman ‘Lalu jika suami mentalaknya (sesudah cerai yang kedua), maka tidaklah si wanita itu halal baginya, sehingga dia kawin lagi dengan suami yang lain’. Dengan demikian Al-Qur’an tersebut menunjukkan –wallahu a’lam–  bahwa orang yang mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, baik sesudah digauli atau belum, maka tidaklah mantan istrinya itu halal baginya sehingga ia kawin lagi dengan suami yang lain. Maka apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya dengan ucapan ‘Engkau tertalak tiga’ menjadi haramlah ia baginya kecualai kalau sudah kawin lagi dengan suami yang lain”.
Fatwa imam Syafi’i ini telah ditetapkan bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, sehingga suami tidak boleh rujuk lagi dan kalau itu dilakukan juga, maka rujuknya batal dan dia teranggap telah melakukan perkawinan yang tidak sah.[5]
 Imam Nawawi dalam kitabnya Minhajut Thalibin berkata pada bab talak : “kalau seorang suami berkata: ‘Saya menceraikan engkau atau engkau tercerai’ dan ia meniatkan bilangan (dua atau tiga), maka jatuhlah dua atau tiga itu. Seperti ini pula pada lafadz kinayah”.
Fatwa imam ini jelas sekali bahwa talak ,baik yang sharih atau kinayah, kalau diniatkan berapa bilangannya, maka jatuhlah talak sesuai dengan bilangan yang diniatkannya. Contoh talak kinayah adalah ‘pulanglah engkau kerumah ibumu’, ia meniatkan perkataan itu untu menceraikan istrinya dan iapun meniatkan talak tiga, maka jatuhlah talak tiga. 
Fatwa dalam madzhab Hambali
Dalam madzhab ini talak tiga sekaligus juga terhitung talak tiga. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Kafi, sebuah kitab fiqih madzhab Hambali karangan Ibnu Qudomah terdiri dari 3 jilid besar. Dalam jilid II/803 beliau berkata sebagai berikut : “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah talak tiga walaupun dia meniatkan talaq satu, karena lafadznya itu adalah nash kepada talaq tiga, tidak ada kemungkinan terhadap yang lain”.
Dan pada halaman 804, beliau berkata: “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak atau dengan seluruh talak atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak yang terakhir’, maka tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Dan jika sang suami berkata: ‘Engkau tetralak sebanyak bilangan air atau sebanyak atau sebanyak bilangan angin atau sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan seribu’, maka tertalak pula istrinya itu dengan talak tiga”.[6]
“Terjadi perbedaan ulama tentang hal seorang laki-laki berkata pada isterinya : “Engkau tertalaq tiga”. Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan jumhur ulama shalaf dan khalaf berpendapat jatuh tiga. Thaus dan sebagian ahli dhahir berpendapat tidak jatuh kecuali satu. Pendapat ini juga pendapat al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq menurut satu riwayat. Pendapat yang masyhur dari al-Hujjaj bin Arthah tidak jatuh talaq sama sekali. Ini juga pendapat Ibnu Muqatil dan Muhammad bin Ishaq pada riwayat lain.” [7]

Perdebatan Ulama’ Tentang Talak Tiga Sekaligus
                   Menurut sebagian ulama’, talak tiga yang dijatuhkan sekaligus itu hanya jatuhnya sekali saja. Pengarang kitab Subulussalam mengemukakan, bahwa mengenai masalah menjatuhkan talak tiga sekaligus, dalam kalangan ulama’ telah timbul perbedaan pendapat:
1.Segolongan ulama’ mengatakan, bahwa talak yang sekaligus ketiganya itu,      tidaklah jatuh satupun juga. Sebab talak seperti itu bid’ah.
2.Menurut fatwa Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Aisyah dan Ali bin Abi Thalib, bahwa talak yang dijatuhkan sekaligus ketiganya itu, dihukumkan mereka jatuh ketiganya. Begitu menurut pendapat Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Ahmad bin Hanbal, serta Jumhur salaf dan khalaf. Mereka mengambil dalil dengan ayat-ayat talak.
3.Berdasarkan suatu riwayat lain lagi dari Ali dan Ibnu Abbas, mereka menghukumkan talak semacam itu hanya jatuh satu kali saja seperti talak raji’. Pendapat ini juga telah difatwakan oleh Al-Hadi, Al-Qosim, As Sabiq dan Al Baqir serta mendapat sokongan pula dari Ibnu Taimiyah. Mereka mengambil alas an dengan hadist Ibnu Abbas.
4.   Segolongan sahabat-sahabat Ibnu Abbas berpendapat, bahwa jatuhnya talak semacam itu harus dibedakan antara istri yang sudah dicampuri dan yang belum. Bagi istri yang sudah dicampuri jatuh talak tiga atasnya, tapi bagi istri yang belum atau tidak dicampuri hanya jatuh satu kali saja. Menurut Muhaqqiq Ibnu Qayyim dalam kitabnya ighatsatul Lahfan, ada orang yang mengatakan, bahwa hadist Ibnu Abbas yang menyatakan talak tiga yang dijatuhkan sekaligus itu adalah mudtharab (kacau) menurut matan dan sanadnya. Oleh sebab itu tidak sah diambil sebagai dalil. Pengang kitab Bidayatul Mujtahid menyatakan pada ulama’ Al-Amshor (mutaakhirin), bahwa talak dengan lafadt tiga kali sekaligus hukumya adalah hukum talak tiga.

Menurut pendapat kita ulam’ safi’iyah, bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus tetap jatuhnya tiga, gunanya “sadduzzariah” (menutupi sesuatu yang akan mendatangkan penyesalan). Dalam hal ini supaya kaum laki-laki jangan terlalu suka mempermainkan talak tiga sekaligus itu, sebab akan menimbulkan penyesalan kemudin. Dan kita tidak menjumpai keterangan dari ahli hadist yang mencatat atau yang mendaifkan hadist ini, oleh sebab itu dianggap kuat.[8]

C.              Talak Karena Tidak Sengaja
            Secara mendasar, kata-kata cerai memang sangat sakral, oleh karenanya RAsulullah Saw sangat mewanti-wanti umat islam dalam mengeluarkan lafadz itu, dalam sabda Rasulullah Saw :

Tiga hal yang bercandanya adalah serius, dan seriusnya dalah serius, yaitu kata-kata nikah, cerai, dan ruju' (HR. Tirmidzi).
Namun disana ada syarat-syarat yang berkaitan dengan cerai, sehingga apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka telah jatuh talak atau cerai. syarat-syarat itu adalah:

pertama : dilakukan oleh suami terhadap istrinya. artinya yang mengucapkan kata cerai, adalah suami, dan yang menjadi obyek adalah istrinya sendiri. bukan seseorang mengucapkan cerai kepada istri orang lain, maka seperti ini tidak masuk talak.

kedua : orang yang mengatakan cerai, harus orang yang sudah balig, meskipun ada pendapat ulama' seperti dalam madzhab hanbali yang mengatakan cerainya anak kecil yang sudah bisa membedakan (mumayiz) tetap berlaku.

ketiga : berakal, artinya seorang suami yang mengucapkan cerai kepada istrinya adalah dalam keadaan berakal, tidak hilang akal seperti mabuk, pingsan dll.

ke empat: dilakukan dengan sengaja dan kemauan sendiri. artinya seorang suami mengucapkan kata cerai kepada istrinya, dengan sengaja, tidak ada paksaan dari pihak lain. termasuk orang yang bercanda mengucapkan cerai, ia digolongkan kepada orang yang mempunyai maksud, oleh karenanya para ulama' sepakat, bahwa orang yang dengan sengaja mengucapkan talak kepada istrinya meskipun dengan sengaja, maka telah jatuh talak, sebagaimana dalam hadits di atas.

Dengan syarat ke empat ini, maka tidak jatuh talak bagi orang yang mengucapkan kata cerai kepada istrinya dalam keadaan salah/khilaf, misalnya seorang suami mau mengucapkan kata-kata lain, tapi yang keluar kata talak, maka hal ini dianggap khilaf, dan tidak jatuh talak. begitu juga seorang suami yang mengatakan cerai kepada istrinya karena dipaksa, atau dibawah suatu ancaman mati, maka dalam hal ini tidak jatuh talak. begitu juga orang yang mengucapkan kata talak/cerai dalam keadaan marah besar, yang mana marahnya itu sampai membuat ia hilang kesadaran. maka dalam keadaan seperti ini juga tidak jatuh talak. oleh karenanya, jika seseorang mengucapkan kata-kata cerai kepada istrinya, dan terpenuhi empat syarat di atas. maka telah jatuh talak, wallahu a'lam.[9]

Orang yang tidak sadarkan diri, yaitu orang yang tidak tahu lagi ataupun tidak sengaja dengan  apa yang dikatakannya karena suatu kejadian hebat menimpanya, sehingga hilang akalnya dan berubah pikirannya. Talak orang seperti ini tidak sah, sebagaimana tidak sahnya talak orang gila, pikun, pingsan,dan orang yang rusak akalnya karena tua atau sakit atau musibah yang tiba-tiba. Talak yang dilakukan ketika orangnya sedang tidak sadar, sama dengan talak yang tidak diniatkan sehingga talaknya tidak sah, (dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah, 1988:18-23)
                        Adapun talak karena keliru, yaitu orang yang keliru mengucapkan kata-katanya sehingga sehingga terucapkan kata “talak”, para ahli fiqh golongan hanafi berpendapat, bahwa pengadilan boleh memutuskan berdasarkan lahir ucapannya, tetapi secara agama, talaknya tidak berlaku dan istrinya tetap halal baginya.(Sayyid Sabiq, 1988:23 ).[10]
             






Daftar pustaka

Beni, Ahmad , fiqh Munakahat (bandung:pustaReychan Shona Al-Kafy di 14.39 
A, Masykur  B, Fiqh Lima Madzab. (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001) hal 441
Idris ahmad, fiqh syafi’i (jakarta:karya indah 1986)
Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.






[2]Masykur A B, Fiqh Lima Madzab. (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001) hal 441
 [3] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’,  1426

[5] .Syafi,i, al-Um, Darul Wifa’, Juz. VI, Hal. 467

[7] Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. X, Hal. 70

[8] Idris Ahmad, Fiqh Syafi’I  (Jakarta Timur: karya indah 1986) 400-401

[9] Semua Hak, Milik Website Islam Soal Jawab ( islamqa.com )©  1997-2014  0.03

[10]Drs.Beni Ahmad Saibani, Fiqh Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia,2010)73-74


Tidak ada komentar:

Posting Komentar