Talak dalam keadaan mabuk, dengan tidak sengaja, Talak tiga sekaligus dalam satu waktu menurut beberapa pendapat
A. Mentalak
dalam Keadaan Mabuk
Di antara
syarat talak adalah suami yang mengucapkan talak itu berakal. Ini berarti orang
yang dalam keadaan tidak sadar, tidak sah talaknya. Contohnya adalah orang yang
dalam keadaan mabuk. Masalah ini seringkali kita lihat, yaitu ada suami yang
sebelumnya memiliki masalah dengan istrinya menjatuhkan talak dalam keadaan ia
mabuk karena memang ia pecandu miras. Dan kita tahu bahwa mabuk jelas haram.
Mengenai status talak orang yang dalam kondisi mabuk, itulah yang akan dibahas
Perlu diketahui bahwa orang yang mabuk itu
ada dalam dua keadaan:
Pertama
orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja. Misalnya karena mengkonsumsi
suatu makanan malah jadi mabuk padahal tidak disengaja untuk mabuk, lalu dalam
keadaan seperti itu ia mentalak istrinya. Misal lainnya adalah seperti mabuk
dalam keadaan dipaksa. Kondisi seperti ini tidaklah jatuh talak berdasarkan ijma’ (kesepakatan)
para ulama.
Kedua
orang yang mabuk dalam keadaan sengaja. Seperti seseorang yang meminum
miras dalam keadaan tahu dan atas pilihannya sendiri, lalu dalam kondisi
semacam itu ia mentalak istrinya. Hukum talak dalam kondisi kedua ini
diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur atau mayoritas ulama
mengatakan bahwa talaknya itu jatuh. Sedangkan ulama lainnya seperti pendapat
lama dari Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh Al Muzani (murid Imam
Asy Syafi’i), pendapat Ath Thohawi (salah seorang ulama besar Hanafiyah) dan
pendapat lain dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa talak dalam keadaan mabuk sama
sekali tidaklah sah entah mabuknya disengaja ataukah tidak. Pendapat terakhir
ini menjadi pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah sebagaimana perkataan yang akan
kami nukil.[1]
Tetapi
para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatukan oleh orang
mabuk. Imamiyah mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak
sah. Sementara itu, mazhab empat berpendapat bahwa, talak orang mabuk
itu sah manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginan
sendiri. Akan tetapi manakala yang ia minum itu minuman mubah (kemudian dia
mabuk) atau dipaksa minum (minuman keras), maka talaknya dianggap tidak jatuh.[2]
Pendapat
yang tepat dalam hal ini adalah yang menyatakan tidak sahnya talak dalam
keadaan mabuk meski mabuknya dengan sengaja atas pilihan sendiri. Alasannya
adalah sebagai berikut:
Pertama Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
(QS. An Nisa: 43).
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa perkataan
orang yang mabuk tidak teranggap karena ia sendiri tidak mengetahui apa yang ia
ucap. Shalat dan ibadahnya tidaklah sah karena saat itu ia tidak berakal.
Begitu pula kita lebih pantas lagi katakan dalam hal akad seperti talak, yaitu
talaknya tidak sah karena ia semisal orang yang tidur dan orang yang gila
(sama-sama tidak memiliki niat).
Kedua Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no.
1 dan Muslim no. 1907). Orang yang mabuk tentu saja tidak memiliki niat dan
tidak memiliki maksud. Padahal berbagai macam akad (termasuk talak) disyaratkan
dengan adanya niat.
Ketiga riwayat shahih dari
‘Utsman radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
كُلُّ
الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقُ النَّشْوَانِ وَ طَلاَقُ المجْنُوْنَ
“Setiap
talak itu boleh (sah) selain talak yang dilakukan oleh orang yang mabuk atau
orang yang gila.” (HR. Sa’id bin Manshur 1112, ‘Abdur Rozaq 12308, Ibnu Abi
Syaibah 5/39, Al Baihaqi 7/359. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih). Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَلَمْ
يَثْبُتْ عَنْ الصَّحَابَةِ خِلَافُهُ فِيمَا أَعْلَمُ
“Selama
yang kami ketahui tidak didapati dari para sahabat yang menyelisihi perkataan
‘Utsman.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/102)
Keempat
riwayat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwasanya beliau didatangkan seseorang
yang telah mentalak istrinya sedangkan ia dalam keadaan mabuk. Ia pun bersumpah
pada Allah yang tidak ilah yang berhak disembah selain Dia bahwa ia benar-benar
melakukan talak namun dalam keadaan tidak sadar. Ia bersumpah. Namun istrinya
dikembalikan padanya. Dan laki-laki tersebut terkena hukuman had. (HR. Sa’id
bin Manshur 1110 dan Ibnu Abi Syaibah 5/39. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih)
Kelima
Ibnu Taimiyah memberi penjelasan, “Orang yang mabuk sudah jelas bahwa ia memang
bermaksiat ketika mabuk. Saat dalam keadaan mabuk, ia tidak mengetahui apa yang
ia katakan. Jika ia tidak tahu ucapan yang ia keluarkan, maka tentu ia berkata
tanpa niat. Padahal dalam hadits disebutkan, “Sesungguhnya amalan tergantung
pada niatnya”. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang bisa gila karena
mengkonsumsi sesuatu. Jika ia gila walaupun asalnya karena maksiat yang ia
lakukan, maka tetap talaknya tidak sah. Begitu pula perkataan yang lain yang
muncul darinya juga tidak sah. Jika setiap orang memperhatikan tujuan dan
maksud syari’at, jelaslah baginya bahwa pendapat yang benar adalah yang
menyatakan talak orang yang mabuk tidaklah sah. Pendapat yang menyatakan bahwa talak
dari orang yang mabuk itu sah, bukanlah pendapat yang dibangun di atas argumen
yang kuat. … Yang benar dalam hal ini, talak dalam keadaan mabuk itu tidaklah
jatuh kecuali jika orang tersebut menyadari apa yang ia ucap. Sebagaimana pula
shalat orang yang mabuk tidaklah sah. Jika shalatnya tidak sah, maka demikian
pula dalam hal talak. AllahTa’ala berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Wallahu a’lam.”
(Majmu’ Al Fatawa, 33/103)
Dari bahasan ringkas di atas, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja atau bahkan sengaja,
talaknya tidak sah karena saat mabuk tidak memiliki akal sehingga tidak ada
niat.[3]
B. Hukum
menjatuhkan talak tiga sekaligus dalam satu waktu
Fatwa dalam
madzhab Maliki
Dalam kitab Muqaddimah jilid
II/76-77 disebutkan sebagai berikut : “Dan begitu juga tidak boleh
menurut imam Malik mentalak istri dengan talak tiga sekaligus, namun kalau
dilakukan juga, maka jatuhlah talak tiga. Hal ini berdasarkan firman Allah
‘azza wa jalla ; ‘Demikianlah batasan-batasan Allah, maka janganlah kamu melampauinya
dan barang siapa melampaui batasan-batasan
Allah, maka ia telah menganiaya dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui bahwa
mungkin Allah akan mendatangkan sesuatu perkara sesudah yang demikian itu’.
Perkara dimaksud adalah rujuk. Maka Allah telah menjadikan wanita dimaksud,
sebagai wanita yang hilang (tidak dapat lagi didekati oleh suami) dengan sebab
jatuhnya talak tiga sekaligus, karena kalau (talak seperti itu) tidak jatuh dan
tidak pula mempunyai akibat hukum niscaya tidaklah dia kehilangan isteri dan
tidak pula dia menganiaya diri sendiri. Dan tidak pula Rasulallah saw
mengharuskan Abdullah bin Umar untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya pada
waktu haidh dimana beliau saw bersabda: ‘Suruh dia merujuk
isterinya’. Ini juga menunjukkan bahwa talak yang berdasarkan sunnah atau tidak
berdasarkan sunnah dihukumkan jatuh dan dialah madzhab para fuqaha dan
ulama-ulama Islam pada umumnya. Tidak ada yang menyimpang dari mereka dalam
masalah ini kecuali segelintir orang yang penentangannya itu tidak perlu
diperhatikan”.
Berdasarkan keterangan dalam kitab Muqaddimah ini, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
Menurut madzhab Maliki tidak boleh menjatuhkan talak tiga sekaligus,
tetapi kalau itu terjadi maka talak dianggap sah dan berlaku sebagai talak
tiga. Dalilnya ialah firman Allah dalamsurat at-Thalaq ayat 2, yang
menyatakan bahwa orang-orang yang menjatuhkan talak dengan cara yang bukan
sunnah, maka berarti ia telah menganiaya diri sendiri, dikarenakan ia tidak
boleh kembali kepada istrinya itu, padahal sewaktu-waktu ia bisa saja berubah
pikiran yakni bermaksud untuk kembali, namun hal itu sudah tidak mungkin
dikarenakan oleh perbuatannya sendiri. Ini adalah bukti bahwa talak tiga
sekaligus yang bukan menurut sunnah adalah terhitung talak tiga. Karena kalau
cara yang seperti itu tidak sah dan tidak berlaku, maka tentulah ia tidak
kehilangan isteri dan tidak pula teranggap menganiaya diri sendiri.Nabi saw
menyuruh Ibnu Umar supaya ia kembali kepada istrinya yang diceraikan nya ketika
tengah haid dan cerainya dihitung satu kali. Walaupun talaknya itu tidak
menurut sunnah namun toh talaknya jatuh juga.
Dan dalam kitab Muqaddimah disebutkan juga bahwa fatwa seperti ini
adalah fatwa para ulama ahli fiqih dan mayoritas ulama Islam.
Yang keluar dari fatwa ini hanyalah segelintir orang yang tidak perlu
diperhatikan.[4]
Fatwa dalam
madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm
jilid V/138 menyebutkan: “Allah swt telah berfirman ‘Talak itu dua kali, maka
boleh kamu rujuk lagi secara patut atau melepaskannya dengan cara yang baik’.
Allah swt juga berfirman ‘Lalu jika suami mentalaknya (sesudah cerai yang
kedua), maka tidaklah si wanita itu halal baginya, sehingga dia kawin lagi
dengan suami yang lain’. Dengan demikian Al-Qur’an tersebut menunjukkan
–wallahu a’lam– bahwa orang yang mentalak istrinya dengan talak tiga
sekaligus, baik sesudah digauli atau belum, maka tidaklah mantan istrinya itu
halal baginya sehingga ia kawin lagi dengan suami yang lain. Maka apabila
seorang lelaki berkata kepada istrinya dengan ucapan ‘Engkau tertalak tiga’
menjadi haramlah ia baginya kecualai kalau sudah kawin lagi dengan suami yang
lain”.
Fatwa imam
Syafi’i ini telah ditetapkan bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga,
sehingga suami tidak boleh rujuk lagi dan kalau itu dilakukan juga, maka
rujuknya batal dan dia teranggap telah melakukan perkawinan yang tidak sah.[5]
Imam
Nawawi dalam kitabnya Minhajut Thalibin berkata pada bab talak : “kalau seorang
suami berkata: ‘Saya menceraikan engkau atau engkau tercerai’ dan ia meniatkan
bilangan (dua atau tiga), maka jatuhlah dua atau tiga itu. Seperti ini pula
pada lafadz kinayah”.
Fatwa imam ini
jelas sekali bahwa talak ,baik yang sharih atau kinayah, kalau diniatkan berapa
bilangannya, maka jatuhlah talak sesuai dengan bilangan yang diniatkannya.
Contoh talak kinayah adalah ‘pulanglah engkau kerumah ibumu’, ia meniatkan
perkataan itu untu menceraikan istrinya dan iapun meniatkan talak tiga, maka
jatuhlah talak tiga.
Fatwa dalam
madzhab Hambali
Dalam madzhab ini talak tiga sekaligus juga terhitung talak tiga. Hal
ini diterangkan dalam kitab Al-Kafi, sebuah kitab fiqih madzhab
Hambali karangan Ibnu Qudomah terdiri dari 3 jilid besar. Dalam jilid II/803 beliau
berkata sebagai berikut : “Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau
tertalak tiga’, maka jatuhlah talak tiga walaupun dia meniatkan talaq satu,
karena lafadznya itu adalah nash kepada talaq tiga, tidak ada kemungkinan
terhadap yang lain”.
Dan pada halaman 804, beliau berkata: “Jika seseorang berkata kepada
istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak atau dengan seluruh talak
atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak yang terakhir’, maka
tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Dan jika sang suami berkata:
‘Engkau tetralak sebanyak bilangan air atau sebanyak atau sebanyak bilangan
angin atau sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan seribu’, maka tertalak
pula istrinya itu dengan talak tiga”.[6]
“Terjadi perbedaan ulama tentang hal seorang laki-laki berkata pada
isterinya : “Engkau tertalaq tiga”. Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan
jumhur ulama shalaf dan khalaf berpendapat jatuh tiga. Thaus dan sebagian ahli
dhahir berpendapat tidak jatuh kecuali satu. Pendapat ini juga pendapat
al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq menurut satu riwayat. Pendapat yang
masyhur dari al-Hujjaj bin Arthah tidak jatuh talaq sama sekali. Ini juga
pendapat Ibnu Muqatil dan Muhammad bin Ishaq pada riwayat lain.” [7]
Perdebatan Ulama’ Tentang Talak Tiga Sekaligus
Perdebatan Ulama’ Tentang Talak Tiga Sekaligus
Menurut
sebagian ulama’, talak tiga yang dijatuhkan sekaligus itu hanya jatuhnya sekali
saja. Pengarang kitab Subulussalam mengemukakan, bahwa mengenai masalah
menjatuhkan talak tiga sekaligus, dalam kalangan ulama’ telah timbul perbedaan
pendapat:
1.Segolongan
ulama’ mengatakan, bahwa talak yang sekaligus ketiganya itu, tidaklah jatuh satupun juga. Sebab talak
seperti itu bid’ah.
2.Menurut
fatwa Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Aisyah dan Ali bin Abi Thalib, bahwa talak
yang dijatuhkan sekaligus ketiganya itu, dihukumkan mereka jatuh ketiganya.
Begitu menurut pendapat Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Ahmad bin Hanbal, serta
Jumhur salaf dan khalaf. Mereka mengambil dalil dengan ayat-ayat talak.
3.Berdasarkan
suatu riwayat lain lagi dari Ali dan Ibnu Abbas, mereka menghukumkan talak
semacam itu hanya jatuh satu kali saja seperti talak raji’. Pendapat ini juga
telah difatwakan oleh Al-Hadi, Al-Qosim, As Sabiq dan Al Baqir serta mendapat
sokongan pula dari Ibnu Taimiyah. Mereka mengambil alas an dengan hadist Ibnu
Abbas.
4. Segolongan
sahabat-sahabat Ibnu Abbas berpendapat, bahwa jatuhnya talak semacam itu harus
dibedakan antara istri yang sudah dicampuri dan yang belum. Bagi istri yang
sudah dicampuri jatuh talak tiga atasnya, tapi bagi istri yang belum atau tidak
dicampuri hanya jatuh satu kali saja. Menurut Muhaqqiq Ibnu Qayyim dalam
kitabnya ighatsatul Lahfan, ada orang yang mengatakan, bahwa hadist Ibnu Abbas
yang menyatakan talak tiga yang dijatuhkan sekaligus itu adalah mudtharab
(kacau) menurut matan dan sanadnya. Oleh sebab itu tidak sah diambil sebagai
dalil. Pengang kitab Bidayatul Mujtahid menyatakan pada ulama’ Al-Amshor
(mutaakhirin), bahwa talak dengan lafadt tiga kali sekaligus hukumya adalah
hukum talak tiga.
Menurut pendapat
kita ulam’ safi’iyah, bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus tetap jatuhnya
tiga, gunanya “sadduzzariah”
(menutupi sesuatu yang akan mendatangkan penyesalan). Dalam hal ini supaya kaum
laki-laki jangan terlalu suka mempermainkan talak tiga sekaligus itu, sebab
akan menimbulkan penyesalan kemudin. Dan kita tidak menjumpai keterangan dari
ahli hadist yang mencatat atau yang mendaifkan hadist ini, oleh sebab itu
dianggap kuat.[8]
C.
Talak Karena Tidak Sengaja
Secara mendasar, kata-kata cerai memang
sangat sakral, oleh karenanya RAsulullah Saw sangat mewanti-wanti umat islam
dalam mengeluarkan lafadz itu, dalam sabda Rasulullah Saw :
Tiga hal yang bercandanya adalah serius, dan seriusnya dalah serius, yaitu kata-kata nikah, cerai, dan ruju' (HR. Tirmidzi).
Namun disana ada syarat-syarat yang berkaitan dengan cerai, sehingga apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka telah jatuh talak atau cerai. syarat-syarat itu adalah:
pertama : dilakukan oleh suami terhadap istrinya. artinya yang mengucapkan kata cerai, adalah suami, dan yang menjadi obyek adalah istrinya sendiri. bukan seseorang mengucapkan cerai kepada istri orang lain, maka seperti ini tidak masuk talak.
kedua : orang yang mengatakan cerai, harus orang yang sudah balig, meskipun ada pendapat ulama' seperti dalam madzhab hanbali yang mengatakan cerainya anak kecil yang sudah bisa membedakan (mumayiz) tetap berlaku.
ketiga : berakal, artinya seorang suami yang mengucapkan cerai kepada istrinya adalah dalam keadaan berakal, tidak hilang akal seperti mabuk, pingsan dll.
ke empat: dilakukan dengan sengaja dan kemauan sendiri. artinya seorang suami mengucapkan kata cerai kepada istrinya, dengan sengaja, tidak ada paksaan dari pihak lain. termasuk orang yang bercanda mengucapkan cerai, ia digolongkan kepada orang yang mempunyai maksud, oleh karenanya para ulama' sepakat, bahwa orang yang dengan sengaja mengucapkan talak kepada istrinya meskipun dengan sengaja, maka telah jatuh talak, sebagaimana dalam hadits di atas.
Dengan syarat ke empat ini, maka tidak jatuh talak bagi orang yang mengucapkan kata cerai kepada istrinya dalam keadaan salah/khilaf, misalnya seorang suami mau mengucapkan kata-kata lain, tapi yang keluar kata talak, maka hal ini dianggap khilaf, dan tidak jatuh talak. begitu juga seorang suami yang mengatakan cerai kepada istrinya karena dipaksa, atau dibawah suatu ancaman mati, maka dalam hal ini tidak jatuh talak. begitu juga orang yang mengucapkan kata talak/cerai dalam keadaan marah besar, yang mana marahnya itu sampai membuat ia hilang kesadaran. maka dalam keadaan seperti ini juga tidak jatuh talak. oleh karenanya, jika seseorang mengucapkan kata-kata cerai kepada istrinya, dan terpenuhi empat syarat di atas. maka telah jatuh talak, wallahu a'lam.[9]
Tiga hal yang bercandanya adalah serius, dan seriusnya dalah serius, yaitu kata-kata nikah, cerai, dan ruju' (HR. Tirmidzi).
Namun disana ada syarat-syarat yang berkaitan dengan cerai, sehingga apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka telah jatuh talak atau cerai. syarat-syarat itu adalah:
pertama : dilakukan oleh suami terhadap istrinya. artinya yang mengucapkan kata cerai, adalah suami, dan yang menjadi obyek adalah istrinya sendiri. bukan seseorang mengucapkan cerai kepada istri orang lain, maka seperti ini tidak masuk talak.
kedua : orang yang mengatakan cerai, harus orang yang sudah balig, meskipun ada pendapat ulama' seperti dalam madzhab hanbali yang mengatakan cerainya anak kecil yang sudah bisa membedakan (mumayiz) tetap berlaku.
ketiga : berakal, artinya seorang suami yang mengucapkan cerai kepada istrinya adalah dalam keadaan berakal, tidak hilang akal seperti mabuk, pingsan dll.
ke empat: dilakukan dengan sengaja dan kemauan sendiri. artinya seorang suami mengucapkan kata cerai kepada istrinya, dengan sengaja, tidak ada paksaan dari pihak lain. termasuk orang yang bercanda mengucapkan cerai, ia digolongkan kepada orang yang mempunyai maksud, oleh karenanya para ulama' sepakat, bahwa orang yang dengan sengaja mengucapkan talak kepada istrinya meskipun dengan sengaja, maka telah jatuh talak, sebagaimana dalam hadits di atas.
Dengan syarat ke empat ini, maka tidak jatuh talak bagi orang yang mengucapkan kata cerai kepada istrinya dalam keadaan salah/khilaf, misalnya seorang suami mau mengucapkan kata-kata lain, tapi yang keluar kata talak, maka hal ini dianggap khilaf, dan tidak jatuh talak. begitu juga seorang suami yang mengatakan cerai kepada istrinya karena dipaksa, atau dibawah suatu ancaman mati, maka dalam hal ini tidak jatuh talak. begitu juga orang yang mengucapkan kata talak/cerai dalam keadaan marah besar, yang mana marahnya itu sampai membuat ia hilang kesadaran. maka dalam keadaan seperti ini juga tidak jatuh talak. oleh karenanya, jika seseorang mengucapkan kata-kata cerai kepada istrinya, dan terpenuhi empat syarat di atas. maka telah jatuh talak, wallahu a'lam.[9]
Orang yang tidak sadarkan diri, yaitu orang yang tidak
tahu lagi ataupun tidak sengaja dengan
apa yang dikatakannya karena suatu kejadian hebat menimpanya, sehingga
hilang akalnya dan berubah pikirannya. Talak orang seperti ini tidak sah,
sebagaimana tidak sahnya talak orang gila, pikun, pingsan,dan orang yang rusak
akalnya karena tua atau sakit atau musibah yang tiba-tiba. Talak yang dilakukan
ketika orangnya sedang tidak sadar, sama dengan talak yang tidak diniatkan
sehingga talaknya tidak sah, (dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah, 1988:18-23)
Adapun
talak karena keliru, yaitu orang yang keliru mengucapkan kata-katanya sehingga
sehingga terucapkan kata “talak”, para ahli fiqh golongan hanafi berpendapat,
bahwa pengadilan boleh memutuskan berdasarkan lahir ucapannya, tetapi secara
agama, talaknya tidak berlaku dan istrinya tetap halal baginya.(Sayyid Sabiq, 1988:23 ).[10]
Daftar pustaka
A, Masykur B, Fiqh Lima Madzab. (Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2001) hal 441
Idris ahmad,
fiqh syafi’i (jakarta:karya indah 1986)
Majmu’ Al Fatawa,
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul
Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
.Syafi,i, al-Um, Darul
Wifa’, Juz. VI, Hal. 467
http://aepsaepullohdarusmanwiati.blogspot.com/2010/03/talak-tiga-dalam-keadaan-mabuk-jatuhkah.html
http://aepsaepullohdarusmanwiati.blogspot.com/2010/03/talak-tiga-dalam-keadaan-mabuk-jatuhkah.html
[1]http://aepsaepullohdarusmanwiati.blogspot.com/2010/03/talak-tiga-dalam-keadaan-mabuk-jatuhkah.html
[2]Masykur A B, Fiqh Lima Madzab. (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001)
hal 441
[3] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, 1426
Tidak ada komentar:
Posting Komentar