Alasan Istri Meminta Cerai
Dalam islam, sebenarnya talak itu tidak dijatuhkan di tangan
wanita, tetapi di tangan laki-laki. Hal ini disebabkan karena, andaikan talak
jatuh ditangan wanita, kehidupan suami istri itu goyah dan tidak akan
terwujudnya ketenteraman dan ketenangan. Karena wanita itu cepat terpengaruh,
bereaksi dan memberontak.[1]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ
بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang
siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”
ايماامر ء ا ة سئلت زو جهاالطلا ق في غير باء س فحر ا م
عليها رائحة الجنة
“Wanita yang meminta
talak suaminya tanpa ada masalah, maka bau surga diharamkan baginya”. (HR. Iima
Imam kecuali Nasa’i)[2]
KHI Pasal 114:
Perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh
isteri.
Apakah yang
menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan?
Maliki, Syafi’i
dan Hambali: yang menjatuhkan talak adalah laki-laki (suami). Hanafi:
yang menjatuhkan talak adalah perempuan.[3]
Para imam
mazhab
sepakat bahwa seorang isteri, apabila sudah tidak senang lagi kepada suaminya
lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh menebus dirinya dari
suaminya dengan suatu pembayaran (khulu’).[4]
Talak karena tidak diberi nafkah[5]
Menurut
imam Malik ketidak mampuan seorang suami memberi nafkah kepada istri itu harus diceraikan,
karena menurut beliau justru akan membahayakan istri, adanya sesuatu yang
membahayakan istri tersebut menurut mengakibatkan perkawian bisa dipisahkan,
tapi menurut ibn Hazm berbeda beliau menolak pendapat imam Malik, karena walau
keadaan apapun istri tidak boleh meminta cerai kepada suaminya, karena dalam
mewujudkan Tujuan perkawinan dalam kesukaran ekonomi maka istri harus membantu
suami dalam mencari nafkah keluarganya, karena akibat yang timbul dari
perceraian justru menurut beliau malah
lebih berbahaya.
Dasar Imam Malik dalam menetapkan
hukum tersebut ndalah Qs. Ath-holaq :7.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Artinya:
”tidaklah orang-orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepedanya (Qs. Ath-Tholaq: 7)
Dalam
redaksi tersebut, menurut imam Malik adalah orang yang kaya harus memberikan
nafkah kepada saudaranya , jika suami sempit rizkinya dan tidak memungkinkan
untuk memberi nafkah, maka tidak ada taklid (pembebanan ) baginya. Tapi menurut
imam Malik baik itu kaya atau miskin yang tidak mau atau atau tidak mampu
memberikan nafkah kepada istrinya atau keluarganya, maka istri diharuskan untuk
memilih hak khiyar, baik itu untuk tetap melanjutkan kepeda suami ataupun
cerai. Tapi imam Maliki dalam hal ini
lebih cenderung untuk meminta cerai. Hadits yang menjadi pegangan imam Maliki
dalam mempertahankan pendapatnya yaitu:
و
حدثن عن ما لك انه بلغه ان سعيد بن المسيب كا ن يقول اذا لم يجد الرجل ماينفق علي امراته فرق بينهما
” Hadits nabi dari
Malik menyampaikan bahwa sanya Said bin Musyayyab berkata , ketika seseorang
lelaki tidak menemukan sesuatu yang dapat mencukupi nafkah istri, keduanya
(suami istri) tersebut boleh diceraikan.
Sedangkan
dalil yang digunakan ibnu Hazm dalam menentukan hukum tersebut sama dengan imam
MAlik yaitu derdasarkan Qs. Ath-Thalaq:7, dalam menafsirkan ayat tersebut ibn
hazm menafsiri dengan sara bil lafdzi sehingga dalam menafsirkannya sesuai
dengan teks yaitu orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuanya,
tapi kalau sempit rizkinya, maka hendaklah memberikan nafkah sesuai dengan yang
diberikan oleh Alloh kepadanya sebab Alloh tidak memerati diri seseorang
melainkan menurut kemampuannya.
Sebagai seorang suami, yang mempunyai kewajiban untuk
memberikan nafkah lahir bathin kepada istri. Peran dan fungsi suami bisa
menjadi wanprestasi terhadap syahnya perceraian.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad membolehkan
talak antara suami istri karena suami tidak memberikan nafkah, yaitu melalui
keputusan hakim[6]dan
jika memang istri mengehendakinya. Sedangkan para penganut madzhab Hanafi tidak
membolehkan, baik disebabkan suami tidak mampu memberikan nafkah karena
kesulitan maupun karena ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah.[7]
Talak karena penderitaan yang pedih[8]
Bahaya yang mengancam dimaksudkan adalah KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga), maka seorang istri diperbolehkan mengajukan gugatan kepada
hakim sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, sedangkan Imam Syafi’i dan Abu
Hanifah tidak membolehkan seorang istri meminta talak kepada suaminya karena
adanya bahaya dari pihak suaminya. [9]
Istri minta cerai karena cacat[10]
Cacat ada 2, yaitu :
1. Jasmani, misalnya impotensi (tidak
mempunyai kemampuan untuk berhubungan seksual).
2. Penyakit berbahaya
Hanafi dan Maliki => menghukumi masalah
tersebut disamakan dengan talak baa-in.
Syafi’i dan Hanbali => masalah tersebut
dianggap fasakh terhadap akad perkawinan dan bukan talak.
Syaratnya : tidak mengetahui cacat sebelum
nikah.
KHI Pasal 116
huruf (e): Bercerai karena Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
Cacat yang
menyebabkan bolehnya khiyar, yaitu memilih antara meneruskan pernikahan
atau membatalkannya, ada sembilan perkara. Gila, kusta dan sopak yang ada pada
suami dan isteri. Putus zakar dan impoten dari suami, adapun dari isteri adalah
tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, tersumbat daging dan lubang
kemaluannya terlalu basah.[11]
Hanafi: suami tidak
mempunyai hak khiyar lantaran alasan tersebut, namun isteri boleh khiyar
jika suami putus zakar dan impoten.
Maliki &
Syafi’i:
suami dan isteri beleh khiyar kecuali sobek antara saluran kencing dan
lubang kemaluan. Hambali menetapkan semuanya menyebabkan bolehnya khiyar.[12]
Talak karena cacat[13]
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa suami tidak dapat ditalak dengan
sebab cacat yang dimilikinya, kecuali ada sebab jab, yaitu terpotongnya dzakar
dan karena impoten yang sudah lama. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan
muridnya, Abu Yusuf. Adapun menurut murid yang lain, yaitu Muhammad bin Hassan,
ada tambahan tiga lagi, sehingga menjadi lima, yaitu : jab, impoten, gila,
sopak dan kusta.
Ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa
masing-masing pihak dari suami istri mempunyai hak khiyar dengan sebab cacat
yang mungkin terjadi pada keduanya, yaitu gila, sopak, dan kusta. Suami
mempunyai hak fasakh apabila ia mendapatkan istrinya memiliki alat kelamin yang
tidak berfungsi dan istri mempunyai hak fasakh jika mendapatkan suaminya
impoten.
Adapun mengenai masalah salah seorang dari suami istri yang kedapatan
banci, di kalangan Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah terdapat 2 pendapat.
Mereka mengatakan, apabila terjadinya sesudah akad dan cacat itu terdapat pada
pihak suami, maka istri berhak khiyar, sedangkan jika cacat itu berada di pihak
istri, maka terdapat dua pendapat.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa cacat yang membolehkan itu ada
delapan, tiga diantaranya mungkin terjadi pada kedua belah pihak (suami istri),
yaitu gila, sopak, dan kusta. Dua lagi khusus suaminya yaitu jab dan impoten,
dan tiga sisanya khusus pada istri yaitu “ar-ritq” (tersumbatnya lubang vagina
yang menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama), Al-Qarn (benjolan yang
tumbuh pada vagina) dan al-‘afal (daging yang tumbuh pada vagina yang selalu
mengeluarkan cairan berbau busuk). Sebagian mereka menambah lagi beberapa cacat
seperti ambeien (bawasir), buang air kecil terus menerus, dan bau badan.
Daud Ad-Dzahiri dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa nikah tidak dapat
di-fasakh dengan alasan cacat apapun juga.
Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya
yang dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dan kasih sayang. Karena tujuan
nikah adalah bukan hanya untuk melahirkan keturunan saja, melainkan memberikan
ketenangan, kasih sayang, dan pergaulan yang harmonis.
Syaratnya : tidak mengetahui cacat sebelum
nikah.
Talak karena takut fitnah[14]
Konsekuensi pernikahan adalah hidup bersama, seorang istri
yang menderita akibat ditinggal pergi suami dalam waktu yang cukup lama maka
sang istri diperbolehkan meminta talak menurut pendapat Imam Malik dan Imam
Ahmad, minimal sang istri mengalami penderitaan selama satu tahun. Imam Ahmad
menambahkan bahwa batas waktu minimal adalah enam bulan, kerena masa enam bulan
merupakan puncak kesabaran seorang istri atas kepergian suami.
Sekali lagi ditegaskan hal ini bisa terjadi, jika
memang sang istri tidak ridlo dengan kepergian suami, jadi kembali pada sang
istri.
Talak karena jauh[15]
Ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa qadhi
(hakim) tidak menalak istri seseorang dengan alasan bahwa suaminya hilang
meskipun telah lama.
Ulama Malikiyyah berpendapat boleh ditalak jika memang ghaibnya
telah lama. Adapun kadar lamanya disini, menurut satu pendapat adalah satu
tahun, dan menurut pendapat lain adalah tiga tahun. Mereka (Al-Malikiyyah)
mengatakan, “Apabila dapat melakukan surat menyurat, diberi keringanan,
sedangkan jika tidak, diceraikan tanpa diberi keringanan (dispensasi). Diantara
Al-malikiyyah, ada juga yang berpendapat bahwa qadhi dapat saja menjatuhkan
talak walaupun si suami yang hilang tersebut mempunyai alasan, asal saja
terjadi kesengsaraan terhadap istri meskipun pihak suami tidak bermaksud
menyebabkan kesengsaraan, misalnya suami dihukum penjara atau menjadi tawanan.
Adapun ulama Hanabilah berpendapat, tidak boleh diceraikan jika
hilangnya si suami tersebut karena alasan yang dapat diterima. Dan jika alasannya
itu tidak dapat diterima, boleh diceraikan.
Adapun UU Mesir No. 25 tahun 1929 menetapkan boleh diceraikan
karena hilang dan karena dipenjarakan. UU tersebut antara lain berbunyi sebagai
berikut.
Pasal 12:
Apabila suami hilang setahun atau lebih tanpa udzur, istrinya dapat
meminta kepada hakim untuk diceraikan dengan tala’ ba’in, apabila istri itu
menjadi sengsara dengan sebab hilangnya suami, meskipun suami tersebut memiliki
kekayaan untuk memberi nafkah.
Pasal 13:
Apabila memungkinkan dilakukan surat-menyurat dengan suami yang
hilang itu, hakim memberi tenggang waktu kepada suami untuk pulang dan menetap
bersama istri, atau membawanya bersama atau menceraikannya. Jika tidak, hakim
akan menjatuhkan thalaq. Seandainya waktu yang telah ditentukan itu sudah lewat
tanpa ada suatu alasan hakim menjatuhkan thalaq ba’in. Sekiranya tidak mungkin
dilakukan surat-menyurat, hakim menjatuhkan talak tanpa memberi tenggang waktu
pada si suami.
Pasal 14:
Istri dari seorang yang dihukum penjara tiga tahun atau lebih,
sesudah suami menjalani hukuman setahun lamanya, dapat meminta kepada hakim
supaya ia diceraikan dengan thalaq ba’in dengan alasan kesengsaraan, walaupun
suami tersebut memiliki harta untuk memberi nafkah.
Maliki => apabila istri merasa terganggu
karena suaminya pergi lama, ia mengkhawatirkan akan terjadinya fitnah, maka
boleh untuk mengajukan gugatan cerai.
Hanafi dan Syafi’i => kepergian suami
tidak dapat dijadikan alasan kuat istri untuk minta cerai.
Mengenai kedudukan sebagai talak baa-in /
fasakh, Imam Malik berpendapat bahwa ia adalah talak baa-in, Imam Ahmad =>
fasakh.
Para ulama, syarat untuk cerai adalah sbb :
·
Bila suami meninggalkan istri tidak dengan alasan yang bisa diterima.
·
Merasa terganggu dengan kepergiannya.
·
Kepergian itu di luar kota tempat tinggalmya.
·
Imam Malik => Lebih dari setahun dan istri merasa terganggu. Menurut
Ulama => 3 tahun, menurut Imam Ahmad => lebih dari 6 bulan.[16]
Seorang istri minta talak karena suami
dipenjarakan
Imam Malik dan Imam Ahmad juga berpendapat, bahwa seorang
istri juga dperbolehkan meminta talak karena hukuman penjara yang dijalani
suaminya.[17]
Sebab, hukuman penjara tersebut akan menyebabkan istri menderita. Tetapi jika
sang istri tidak merasa menderita itu juga tidak apa-apa. Pada dasrnya hak itu
berada ditangan wanita.
Talak karena berpindah
agama
KHI Pasal 116
huruf (h): Bercerai karena terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah
satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hanafi &
Maliki:
Jika salah seorang suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), maka
secepatnya mereka harus bercerai (mutlak), baik murtadnya sebelum bercampur
maupun sesudahnya.
Syafi’i dan
Hambali:
Jika murtadnya sebelum terjadi dukhul maka harus secepatnya bercerai, namun
jika sudah dukhul hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya selesai.
Hanafi, Syafi’i
dan Hambali : Tidak bercerai apabila keduanya sama-sama
murtad, berbeda dengan Maliki yang mengharuskan bercerai alias
pernikahannya batal.[18]
Bercerai karena
Suami melanggar taklik-talak.
KHI Pasal 116
huruf (g): Bercerai karena Suami melanggar taklik-talak.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya
seseorang laki-laki berkata seorang perempuan yang bukan isterinya “jika aku
menikahimu maka kamu tertalak” atau “setiap perempuan yang aku nikahi tertalak”
Hanafi: Ta’liq
demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak
atau umum maupun khusus.
Maliki: ta’liq
tersebut sah dan lazim talak apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya.
Sedangkan jika ta’liq diutarakan secara umum maka ta’liq itu
tidak sah dan tidak jatuh talak.
[1]Syekh Muhammad
Syalabi, Ankamul Usrah, hlm 473.
[2]Ibrahim
Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta : Pustaka Amani, 1999) hlm
279.
[3]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih
Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi,
2010), hlm. 363.
[6] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanitz, penrj.
M.Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998,hlm. 447
[13] Mahmud
Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung : Pustaka Setia, 2007)hlm 197-199.
[15] Mahmud
Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm 196.
[16]
Ibrahim
Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta : Pustaka Amani, 1999) hlm
316.
[17] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanitz, penrj.
M.Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998,hlm. 447
[18]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih
Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi,
2010), hlm. 350.
[19]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih
Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi,
2010), hlm. 366.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar