Senin, 03 Oktober 2016

ALASAN ISTRI MEMINTA CERAI



Alasan Istri Meminta Cerai
Dalam islam, sebenarnya talak itu tidak dijatuhkan di tangan wanita, tetapi di tangan laki-laki. Hal ini disebabkan karena, andaikan talak jatuh ditangan wanita, kehidupan suami istri itu goyah dan tidak akan terwujudnya ketenteraman dan ketenangan. Karena wanita itu cepat terpengaruh, bereaksi dan memberontak.[1]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”
ايماامر ء ا ة سئلت زو جهاالطلا ق في غير باء س فحر ا م عليها رائحة  الجنة
“Wanita yang meminta talak suaminya tanpa ada masalah, maka bau surga diharamkan baginya”. (HR. Iima Imam kecuali Nasa’i)[2]
KHI Pasal 114: Perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri.
Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan?
Maliki, Syafi’i dan Hambali: yang menjatuhkan talak adalah laki-laki (suami). Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.[3]
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang isteri, apabila sudah tidak senang lagi kepada suaminya lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran (khulu’).[4]

Talak karena tidak diberi nafkah[5]
Menurut imam Malik ketidak mampuan seorang suami memberi  nafkah kepada istri itu harus diceraikan, karena menurut beliau justru akan membahayakan istri, adanya sesuatu yang membahayakan istri tersebut menurut mengakibatkan perkawian bisa dipisahkan, tapi menurut ibn Hazm berbeda beliau menolak pendapat imam Malik, karena walau keadaan apapun istri tidak boleh meminta cerai kepada suaminya, karena dalam mewujudkan Tujuan perkawinan dalam kesukaran ekonomi maka istri harus membantu suami dalam mencari nafkah keluarganya, karena akibat yang timbul dari perceraian  justru menurut beliau malah lebih berbahaya.
            Dasar Imam Malik dalam menetapkan hukum tersebut ndalah Qs. Ath-holaq :7.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Artinya: ”tidaklah orang-orang yang mampu  memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepedanya (Qs. Ath-Tholaq: 7)
Dalam redaksi tersebut, menurut imam Malik adalah orang yang kaya harus memberikan nafkah kepada saudaranya , jika suami sempit rizkinya dan tidak memungkinkan untuk memberi nafkah, maka tidak ada taklid (pembebanan ) baginya. Tapi menurut imam Malik baik itu kaya atau miskin yang tidak mau atau atau tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya atau keluarganya, maka istri diharuskan untuk memilih hak khiyar, baik itu untuk tetap melanjutkan kepeda suami ataupun cerai. Tapi imam  Maliki dalam hal ini lebih cenderung untuk meminta cerai. Hadits yang menjadi pegangan imam Maliki dalam mempertahankan pendapatnya yaitu:
و حدثن عن ما لك انه بلغه ان سعيد بن المسيب كا ن يقول اذا لم يجد الرجل  ماينفق علي امراته فرق بينهما
 ” Hadits nabi dari Malik menyampaikan bahwa sanya Said bin Musyayyab berkata , ketika seseorang lelaki tidak menemukan sesuatu yang dapat mencukupi nafkah istri, keduanya (suami istri) tersebut boleh diceraikan.
Sedangkan dalil yang digunakan ibnu Hazm dalam menentukan hukum tersebut sama dengan imam MAlik yaitu derdasarkan Qs. Ath-Thalaq:7, dalam menafsirkan ayat tersebut ibn hazm menafsiri dengan sara bil lafdzi sehingga dalam menafsirkannya sesuai dengan teks yaitu orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuanya, tapi kalau sempit rizkinya, maka hendaklah memberikan nafkah sesuai dengan yang diberikan oleh Alloh kepadanya sebab Alloh tidak memerati diri seseorang melainkan menurut kemampuannya.
Sebagai seorang suami, yang mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah lahir bathin kepada istri. Peran dan fungsi suami  bisa menjadi wanprestasi terhadap syahnya perceraian.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad membolehkan talak antara suami istri karena suami tidak memberikan nafkah, yaitu melalui keputusan hakim[6]dan jika memang istri mengehendakinya. Sedangkan para penganut madzhab Hanafi tidak membolehkan, baik disebabkan suami tidak mampu memberikan nafkah karena kesulitan maupun karena ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah.[7]

Talak karena penderitaan yang pedih[8]
Bahaya yang mengancam dimaksudkan adalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), maka seorang istri diperbolehkan mengajukan gugatan kepada hakim sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah tidak membolehkan seorang istri meminta talak kepada suaminya karena adanya bahaya dari pihak suaminya. [9]


Istri minta cerai karena cacat[10]
Cacat ada 2, yaitu :
1.      Jasmani, misalnya impotensi (tidak mempunyai kemampuan untuk berhubungan seksual).
2.      Penyakit berbahaya
Hanafi dan Maliki => menghukumi masalah tersebut disamakan dengan talak baa-in.
Syafi’i dan Hanbali => masalah tersebut dianggap fasakh terhadap akad perkawinan dan bukan talak.
Syaratnya : tidak mengetahui cacat sebelum nikah.
KHI Pasal 116 huruf (e): Bercerai karena Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
Cacat yang menyebabkan bolehnya khiyar, yaitu memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya, ada sembilan perkara. Gila, kusta dan sopak yang ada pada suami dan isteri. Putus zakar dan impoten dari suami, adapun dari isteri adalah tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, tersumbat daging dan lubang kemaluannya terlalu basah.[11]
Hanafi: suami tidak mempunyai hak khiyar lantaran alasan tersebut, namun isteri boleh khiyar jika suami putus zakar dan impoten.
Maliki & Syafi’i: suami dan isteri beleh khiyar kecuali sobek antara saluran kencing dan lubang kemaluan. Hambali menetapkan semuanya menyebabkan bolehnya khiyar.[12]


Talak karena cacat[13]
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa suami tidak dapat ditalak dengan sebab cacat yang dimilikinya, kecuali ada sebab jab, yaitu terpotongnya dzakar dan karena impoten yang sudah lama. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan muridnya, Abu Yusuf. Adapun menurut murid yang lain, yaitu Muhammad bin Hassan, ada tambahan tiga lagi, sehingga menjadi lima, yaitu : jab, impoten, gila, sopak dan kusta.
Ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa masing-masing pihak dari suami istri mempunyai hak khiyar dengan sebab cacat yang mungkin terjadi pada keduanya, yaitu gila, sopak, dan kusta. Suami mempunyai hak fasakh apabila ia mendapatkan istrinya memiliki alat kelamin yang tidak berfungsi dan istri mempunyai hak fasakh jika mendapatkan suaminya impoten.
Adapun mengenai masalah salah seorang dari suami istri yang kedapatan banci, di kalangan Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah terdapat 2 pendapat. Mereka mengatakan, apabila terjadinya sesudah akad dan cacat itu terdapat pada pihak suami, maka istri berhak khiyar, sedangkan jika cacat itu berada di pihak istri, maka terdapat dua pendapat.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa cacat yang membolehkan itu ada delapan, tiga diantaranya mungkin terjadi pada kedua belah pihak (suami istri), yaitu gila, sopak, dan kusta. Dua lagi khusus suaminya yaitu jab dan impoten, dan tiga sisanya khusus pada istri yaitu “ar-ritq” (tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama), Al-Qarn (benjolan yang tumbuh pada vagina) dan al-‘afal (daging yang tumbuh pada vagina yang selalu mengeluarkan cairan berbau busuk). Sebagian mereka menambah lagi beberapa cacat seperti ambeien (bawasir), buang air kecil terus menerus, dan bau badan.
Daud Ad-Dzahiri dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa nikah tidak dapat di-fasakh dengan alasan cacat apapun juga.
Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dan kasih sayang. Karena tujuan nikah adalah bukan hanya untuk melahirkan keturunan saja, melainkan memberikan ketenangan, kasih sayang, dan pergaulan yang harmonis.
Syaratnya : tidak mengetahui cacat sebelum nikah.

Talak karena takut fitnah[14]
Konsekuensi pernikahan adalah hidup bersama, seorang istri yang menderita akibat ditinggal pergi suami dalam waktu yang cukup lama maka sang istri diperbolehkan meminta talak menurut pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad, minimal sang istri mengalami penderitaan selama satu tahun. Imam Ahmad menambahkan bahwa batas waktu minimal adalah enam bulan, kerena masa enam bulan merupakan puncak kesabaran seorang istri atas kepergian suami.
Sekali lagi ditegaskan  hal ini bisa terjadi, jika memang sang istri tidak ridlo dengan kepergian suami, jadi kembali pada sang istri.

Talak karena jauh[15]
Ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa qadhi (hakim) tidak menalak istri seseorang dengan alasan bahwa suaminya hilang meskipun telah lama.
Ulama Malikiyyah berpendapat boleh ditalak jika memang ghaibnya telah lama. Adapun kadar lamanya disini, menurut satu pendapat adalah satu tahun, dan menurut pendapat lain adalah tiga tahun. Mereka (Al-Malikiyyah) mengatakan, “Apabila dapat melakukan surat menyurat, diberi keringanan, sedangkan jika tidak, diceraikan tanpa diberi keringanan (dispensasi). Diantara Al-malikiyyah, ada juga yang berpendapat bahwa qadhi dapat saja menjatuhkan talak walaupun si suami yang hilang tersebut mempunyai alasan, asal saja terjadi kesengsaraan terhadap istri meskipun pihak suami tidak bermaksud menyebabkan kesengsaraan, misalnya suami dihukum penjara atau menjadi tawanan.
Adapun ulama Hanabilah berpendapat, tidak boleh diceraikan jika hilangnya si suami tersebut karena alasan yang dapat diterima. Dan jika alasannya itu tidak dapat diterima, boleh diceraikan.
Adapun UU Mesir No. 25 tahun 1929 menetapkan boleh diceraikan karena hilang dan karena dipenjarakan. UU tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut.
Pasal 12:
Apabila suami hilang setahun atau lebih tanpa udzur, istrinya dapat meminta kepada hakim untuk diceraikan dengan tala’ ba’in, apabila istri itu menjadi sengsara dengan sebab hilangnya suami, meskipun suami tersebut memiliki kekayaan untuk memberi nafkah.
Pasal 13:
Apabila memungkinkan dilakukan surat-menyurat dengan suami yang hilang itu, hakim memberi tenggang waktu kepada suami untuk pulang dan menetap bersama istri, atau membawanya bersama atau menceraikannya. Jika tidak, hakim akan menjatuhkan thalaq. Seandainya waktu yang telah ditentukan itu sudah lewat tanpa ada suatu alasan hakim menjatuhkan thalaq ba’in. Sekiranya tidak mungkin dilakukan surat-menyurat, hakim menjatuhkan talak tanpa memberi tenggang waktu pada si suami.
Pasal 14:
Istri dari seorang yang dihukum penjara tiga tahun atau lebih, sesudah suami menjalani hukuman setahun lamanya, dapat meminta kepada hakim supaya ia diceraikan dengan thalaq ba’in dengan alasan kesengsaraan, walaupun suami tersebut memiliki harta untuk memberi nafkah.
Maliki => apabila istri merasa terganggu karena suaminya pergi lama, ia mengkhawatirkan akan terjadinya fitnah, maka boleh untuk mengajukan gugatan cerai.
Hanafi dan Syafi’i => kepergian suami tidak dapat dijadikan alasan kuat istri untuk minta cerai.
Mengenai kedudukan sebagai talak baa-in / fasakh, Imam Malik berpendapat bahwa ia adalah talak baa-in, Imam Ahmad => fasakh.
Para ulama, syarat untuk cerai adalah sbb :
·         Bila suami meninggalkan istri tidak dengan alasan yang bisa diterima.
·         Merasa terganggu dengan kepergiannya.
·         Kepergian itu di luar kota tempat tinggalmya.
·         Imam Malik => Lebih dari setahun dan istri merasa terganggu. Menurut Ulama => 3 tahun, menurut Imam Ahmad => lebih dari 6 bulan.[16]

Seorang istri minta talak karena suami dipenjarakan
Imam Malik dan Imam Ahmad juga berpendapat, bahwa seorang istri juga dperbolehkan meminta talak karena hukuman penjara yang dijalani suaminya.[17] Sebab, hukuman penjara tersebut akan menyebabkan istri menderita. Tetapi jika sang istri tidak merasa menderita itu juga tidak apa-apa. Pada dasrnya hak itu berada ditangan wanita.

Talak karena berpindah agama
KHI Pasal 116 huruf (h): Bercerai karena terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hanafi & Maliki: Jika salah seorang suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), maka secepatnya mereka harus bercerai (mutlak), baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudahnya.
Syafi’i dan Hambali: Jika murtadnya sebelum terjadi dukhul maka harus secepatnya bercerai, namun jika sudah dukhul hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya selesai.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali : Tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda dengan Maliki yang mengharuskan bercerai alias pernikahannya batal.[18]

Bercerai karena Suami melanggar taklik-talak.
KHI Pasal 116 huruf (g): Bercerai karena Suami melanggar taklik-talak.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seseorang laki-laki berkata seorang perempuan yang bukan isterinya “jika aku menikahimu maka kamu tertalak” atau “setiap perempuan yang aku nikahi tertalak”
Hanafi: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun khusus.
Maliki: ta’liq tersebut sah dan lazim talak apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq diutarakan secara umum maka ta’liq itu tidak sah dan tidak jatuh talak.
Syafi’i dan Hambali: ta’liq yang demikian tidak sah dan tidak lazim talak secara mutlak.[19]




[1]Syekh Muhammad Syalabi, Ankamul Usrah, hlm 473.
[2]Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta : Pustaka Amani, 1999) hlm 279.
[3]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 363.
[4]Ibid., hlm. 363.
[5]Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta : Pustaka Amani, 1999) hlm 311.
[6] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanitz, penrj. M.Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998,hlm. 447
[7]Ibid,hlm. 448
[8]IbidIbrahim. 312
[9]Ibid,Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, hlm. 448
[10]Ibid. 313.
[11]Ibid Muhammad, hlm354
[12]Ibid, 366.
[13] Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung : Pustaka Setia, 2007)hlm 197-199.
[14]Ibid. 316.
[15] Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm 196.
[16] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta : Pustaka Amani, 1999) hlm 316.
[17] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanitz, penrj. M.Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998,hlm. 447
[18]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 350.
[19]Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 366.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar