SYARAT
DAN RUKUN TALAK
Disusun
oleh :
1.
Muhammad Anton
p. (210313063)
2.
Nur Hidayah (210313051)
3.
Siti Zubaidah
(210313040)
4.
Sri Rahayu
(210313060)
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad
dan transaksi yang lain, untuk keabsahan talak juga mesti memenuhi rukun dan
syarat itu, berbeda pengertiannya menurut pakar hukum Islam, namun konsekwensi
yang ditimbulkan keduanya apabila tidak terpenuhi dalam suatu akad atau
transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya akad atau transaksi tersebut.
A.
RUKUN
TALAK
Terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak. Menurut ulama Hanafiyyah,
rukun talak itu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasani sebagai
berikut:
فركن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة
على معنى الطلاق لغة وهو التخلية والإرسال ورفع القيد الصريح وقطع الوصلة ونحوه فى
الكناية أو شرعا وهو إزالة حل المحلية فى النوعين أو ما يقوم مقام اللفظ
” Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap
makna talak, baik secara etimolog iyaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau
membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam
kategori lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara’ yang
menghilangkan halalnya (“bersenang-senag” dengan) isteri dalam kedua bentuknya
(raj’iy dan ba’in), atau apapun yang menempati posisi lafal”
Berdasarkan
keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun talak itu dalam pandangan ulama
Hanafiyah hanya satu, yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan pengertian
talak, baik secara etimologi, syar’iy maupun apa saja yang menempati posisi
lafal-lafal tersebut.
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat,[1]
yaitu:
1. Orang yang berkompeten melakukannya.
Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa
hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.
2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya,
orang yang menjatuhkan talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk
kategori lafal shrih atau lafal kinayah yang jelas.
3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya
talak yang dijatuhkan itu mesti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui
suatu pernikahan yang sah.
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah dan
Hanabillah, rukun talak itu adal lima,[2]
yaitu:
1.
Orang
yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf.
Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak
mempunyai kekuatan hukum.
2.
Lafal
talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi’iyyah membaginya kepada
tiga macam, yaitu:
a. Lafal yang diucapkan secara sharih
dan kinayah. Di antara yang termasuk lafal sharih adalah al-sarrah, al-firaq,
al-thalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-thalaq tersebut.
Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian,
seperti seorang suami berkata kepada isterinya: idzhabi (pergilah kamu)
atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu,
sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak
yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru terakad apabila di ucapkan dengan
lafal-lafal yang sharih ataupun lafal kinayah dengan meniatkannyauntuk
menjatuhkan talak.
b. Apabila lafal talak itu tidak
diucapkan, baik secara sharih maupun kinayah, boleh saja melalui isyarat yang
dipahami bermakna talak, namun menurut kesepakatan ulama dikalangan
Syafi’iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hokum
apabila dilakukan oleh orang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi
kepada sharih dan kinayah. Isyarat sharih adalah isyarat yang dapat dipahami
oleh orang banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah
isyarat yang hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu
menggantikan kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
“Isyarat
yang biasanya dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan
bagi orang-orang bisu”
c. Talak itu juga sudah dianggap
memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut menyerahkan (al-fawidh)
kepada isterinya untuk menjatuhkan talaknya. Misalanya seorang suami berkata
kepada isterinya: Thalliqi nafsak (talaklah dirimu), lalu apabila
isterinya itu menjawab: Thallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya
itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamlik
(wakil) dalam menjatuhkan talak.
Jadi
dalam pandangan ulama Syafi’iyyah , lafal atau sighah yang merupakan
salah satu rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang sharih
atau kinayah, isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang sharih
maupun kinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang
dikuasakan oleh seorang suami kepada isterinya.
3.
Dilakukan
secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi’iyyah
mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang dikeragui cacatnya kesengajaan,[3]
yaitu:
a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang
isterinya bernama Thariq, lalu ia memanggilnya dengan ucapan: Ya
Thaliq (wahai yang ditalak). Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa
lidahnya terpeleset (salah ucapan) maka talaknya tidak sah. Jadi apabila
seorang suami tersalah ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah
kata talak atau lafal-lafal yang secara sharih bermakna talak, maka talaknya
dianggap tidak sah.
b. Ketidak tahuan. Apabila seorang
suami mengatakan: “Hai wanita yang ditalak” kepada seorang wanita yang
disangkanya isteri orang lain namun ternyata wanita itu adalah isterinya
sendiri, maka menurut pendapat Jumhur ulama Syafi’iyyah talaknya sah. Namun
apabila orang ‘ajam (non arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak
memahami maksudnya maka talak itu tidak sah.
c. Bersenda gurau. Talak yang
dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya.
d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur
keterpaksaan dapat menghalangi ke absahan seluruh bentuk tasharruf
kecuali mengislamkan kafir harbidan murtad. Oleh karena itu, talak yang
dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang
menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang
termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti ancama bunuh dan lenyapnya
harta, bukan keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan.
Ketentuan tersebut berdasarkan kepada Hadits Nabi SAW berikut:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه (رواه ابن ماجة
والحاكم)
“Diterima
dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bahwa ia bersabda: Sesungguhnya Allah SWT
mengangkatkan dari umatku dari sifat tersalah, lupa dan apa saja yang
dipaksakan kepadanya” (H.R. Ibnu Majah dan al-Hakim)
e. Hilang akal pikiran disebabkan gila
dan minum obat. Gilanya seseorang dapat menghalangi keabsahan dari seluruh
bentuk tasharuf. Ketentuan tersebuit didasarkan kepada hadits Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى
يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق (رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم
وأخرجه ابن حبان)
“Diterima
dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW bahwa ia bersabda: Dibebaskan dari tiga macam
orabf, yaitu dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga
dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau sadar” (H.R. Ahmad dan al-Arba’ah kecuali
al-Tirmidzi. Hadits ini dianggap shahih oleh al-Hakim dan juga
diriwayatkan oleh Ibn Hibban)
4.
Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila seorang suami
menyandarkan talak itu kepada bagian dari tubuh isternya, misalnya ia
menyandarkan kepada anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau
hati, maka talaknya sah. Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada fadhalat
tubuhnya seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah.
5.
Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata
keada seorang wanita yang bukan isterinya: Anti thalliq (kamu wanita
yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata
kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy,
maka talaknyabaru dianggap sah. Bahkan menurut ulama Syafi’iyyah, apabila
seorang suami berkata kepada wanita yang bukan isterinya: In nakahtuki fa
anti thalliq (jika aku menikahimu maka kamu adalah wanita yang ditalak),
maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka, ucapan yang dikaitkan dengan
syaratpun juga tidak sah, sebab ketika ia mengucapkannya, wanita tersebut tidak
berada dlam kekuasaannya.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu hanya
satu, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak, baik secara etimologi dalam
kategori sharih atau kinayah, atau secara syar’, atau tafwidh (menyerahkan
kepada isteri untuk menjatuhkan talaknya). Menurut ulama Malikiyyah ada empat,
yaitu orang yang berkompeten menjatuhkan talak, ada kesengajaan menjatuhka
talak, wanita yang dihalalkan dan adanya lafal, baik sharih maupun kinayah.
Sedangka menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada
lima, yaitu orang yang menjatuhkan talak, adanya lafal talak, adanya
kesengajaan menjatuhkan talak, adanya wanita yang dihalalkan dan menguasai
isteri tersebut.
Apabila
diperhatikan secara seksama, sebenarnya rukun talak yang dikemukakan oleh ulama
Syafi’iyyah dan Hanabillah iturelatif sama substansinya dengan formulasi rukun
talak yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana formulasi menguasai isteri
yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah telah tercakup kedalam
rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang dikemukakan ulama Malikiyyah. Oleh
karena itulah, dalam sebagian literature persoalan ini diklasifikasikan kepada
pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.
B. SYARAT TALAK
Untuk
keabsahan talak yang dijatuhkan oleh seorang suami juga mesti memenuhi beberapa
syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama, disamping beberapa rukun yang
telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
Dalam
menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keabsahan talak ini juga terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan
kepada Hanafiyyah dan selain Hanafiyya
Menurut ulama dari kalangan Hanafiyyah,
syarat-syarat talak yang mesti tdipenuhi tersebut diklasifikasikan kepada tiga
kategori,[4]
yaitu ada yang terdapat pada suami, terdapat pada isteri dan ada terdapat pada
rukun halal atau lafal itu sendiri.
1. Syarat yang ada pada suami
Adapun syarat-syarat yang ada pada suami itu adalah:
a. Suami itu mesti orang yang berakal
Oleh karena iu orang gila dan
anak kecil tidak sah talaknya, sebab keduanya tidak berakal, sementara
berakalnya seseorang merupakan syarat cakap untuk bertindak hukum.
Ketentuan ini disandarkan kepada
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Arba’ah kecuali al-Tarmidzi
sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى
يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق (رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم
وأخرجه ابن حبان)
“Diterima dari Aisyah r.a., dqari
Nabi SAW bahwa ia bersabda: dibebaskan dari tiga macam orang, yaitu dari
orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa dan dari orang
gila hingga ia ingat atau sadar” (H.R. Ahmad dan al-Arba’ah kecuali al-Tirmidzi. Hadits
dianggap shahih oleh al-Hakim dan jug diriwayatkan oleh Ibnu Hibban).
Mengenai orang yang mabuk, terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama Hanafiyyah tentang apakah talknya sah atau
tidak. Menurut al-Kasani, talaknya sah sehingga mempunyaio kekuatan hokum
sebagaimana dikemukakannyasebagai berikut:
ولنا عموم قوله عز وجل الطلاق مرتان
إلى قوله فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره من غير فصل بين السكران
وغيره
“Menurut kami (dalilnya) adalah
keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla: ‘Talak itu dua kali’, sehingga firman
Allah SWT: jika ia menjatuhkan talknya maka tidak halal wanita tersebut baginya
setelah itu sampai ia menikah dengan orang lain tanpa merincikan antara orang
mabuk dengan lainnya. “
Sedangkan menurut ulama Hanfiyyah
yang lain, seperti Abu Ja’far al-Thahawi, Abu al-Hasan al-karkhi, Abu Yusuf
dan Zufar, talak orang yang mabuk tersebut tidak sah, sebagaimana yang
dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai berikut:[5]
وممن ذهب إلى القول بعدم نفوذ طلاق
السكران من الحنفية أبو جعفر الطحاوي وأبو الحسن الكرخي وحكاه صاحب النهاية عن أبي
يوسف وزفر
“Diantara ulama yang berpendapat
tidak berlakunya talak orang yang mabuk dari kalangan Hanafiyyah adalah
Abu Ja’far al-Thahawi dan Abu Hasan al-Karkhi. Pengarang Kitab al-Nihayah
meriwayatkan pendapat yang sama dari Abu Yusuf dan Zufar”
Al-Marghinani (Hanafiyyah) juga
berpendapat bahwa talak orang yang mabuk tidak sah sehingga tidak mempunyai
kekuatan hokum, sebab ia dianggap sama dengan keadaan orang yang hilang akal
lainnya.
Dalam formulasi fikih Syafi’iyyah
juga terjadi perbedaan pendapat tentang persoalan tersebut. Menurut imam
al-Syafi’ie talak orang yang mabuk tersebut sah. Ia mengemukakan pendapatnya
itu dalam kitab al-Umm, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mathriji sebagai
berikut:
طلاق السكران قال الشافعي رحمه الله
فى الأم: فمن شرب خمرا أو نبيذا فاسكره فطلق لزمه الطلاق والحدود كلها
“Mengenai talak orang yang
mabuk, a;-Syafi’I berkata dalam kitab al-Umm: Siapa yang meminum khamar atau
perhan buah, lalu khamar atau perahan buah itu membuatnya mabuk, kemudian ia
menjatuhkan talak, maka talak tersebut mengikatnya sekaligus dikenakkan hudud”
Sedangkan menurut al-Muzni, Abu
Suraij, Abu Sahal al-Sha’luki, sahal sendiri dan Abu Thahir al-Ziyadi talaknya
tidak sah,[6]
sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Mathriji sebagai berikut:
“Diantara ulama yang berpendapat
tidak jatuh talaknya adalah al-Muzni, Abu Suraij, Abu Shahal al-Sha’luki,
anaknya Shahal dan Abu Thahir al-Ziyadi.”
Adapun menurut ulama dari kalangan
Hanabillah, talak orang yang mabuk juga tidak sah. Memang ditemukan riwayat
yang menjelaskan bahwa Imam Ahmad pernah berpendapat bahwa tlak orang mabuk itu
tidak sah dan berlaku namun menarika kembali pendapatnya itu.[15]
Pendapat mereka yang menyatakan tidak sahnya talak orang mabuk itu,[7]
sebagaiman dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai berikut:
“Pendapat yang shahi adalah bahwa
sesungguhnya (orang yang mabuk) itu tidak dipandang perkataannya pada masalah
talak, memerdekakan budak, melakukan transaksi jual beli, hibah, wakaf,
riddah-nya dan tidak pula pengakuannya”
Menurut ulama Malikiyyah, apabila
orang mabuk menjatuhkan talak isterinya maka talak tersebut sah dan karenanyan
mempunyai kekuatan hokum sekaligus membawa implikasi hukum.
Talak orang yang dipaksa dianggap
sah menurut ulama hanafiyyah sebagaimana dikemukakan oleh al-Kasani sebagai
berikut:
“Adapun mengenai keadaan suami tidak
terpaksa, menurut sahabat kami bukanlah merupakan syarat. Oleh karena itu,
talak orang yang dipaksa sah menurut kami, sedangkan menurut (al-Syafi’i) sah”
Berbeda dengan pendapat ulama
Hanafiyyah diatas, jumhur ulama berpendapat bahwa talak orang yang dipaksa
tersebut tidak sah dank arena tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama
juga, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa keberadaan sehatnya suami dan islamnya
suami tidak termasuk salah satu syarat keabsahan talak. Oleh karena itu, talak
orang yang sakit dan orang kafir tetap sah dan mempunyai kekuatan hokum.[8]
Selain itu, para ulama dari kalanga
Hanafiyyah juga berbeda pendapat dengan jumhur ulama tentang adanya unsure
kesengajaan sebagai syarat ke absahan talak. Menurut ulama hanafiyyah adanya
unsure kesengajaan tidak termasuk syarat, sebagaimana halnya pendapat jumhur
ulama. Oleh karena itu, menurut ulama hanafiyyah, apabila suami tersebut
tersalah sehingga mengucapkan lafal talak, mak talaknya sah. Begitu juga sah
talaknya, menurut mereka orang yang bersenda gurau dan orang yang bermain-main. Dasarnya adalah hadis berikut:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الترمذي وأبو
داود وابن ماجة ودارقطني)
Dari Abi Hurayrah, ia berkata:
“Telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Tiga hal yang sengaja berakibat mengikat dan
main-mainnya juga berakibat mengikat, yaitu nikah, talak dan ruju’. (HR. Al-Turmudziy, Abu Dawud, Ibn
Majah, dan Daruquthniy)
b. Suami tidak dungu, bingung, pitam
ataupun sedang tidur.
Dasar hokum tidak sahnya talak orang
dungu dan bingug tersebut adalah hadits Nabi SAW berikut:
كل طلاق جائز إلا طلاق الصبي والمعتوه
“Setiap
talak boleh kecuali talak anak kecil dan orang bodoh”
Sedangkan
dasar hokum tidak sahnya talak orang pitam dan orang tidur itu adalah hadits
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Arba’ah selain al-Tirmidzi,
sebagaimana yang telah penulis kemukakan terdahulu, yang menjelaskan bahwa ada
tiga kelompok orang yang dibebaskan dari dosa, yaitu:
a)
Orang tidur hingga bangun,
b)
anak kecil hingga dewasa dan
c)
Orang gila hingga ia sembuh
c. Suami itu telah baligh
Oleh
karena itu, apabila anak kecil menjatuhkan talak maka talknya tidak sah.
Ketentuan ini didasarkan kepada dua buah hadits diatas.
d. Suami itu mesti meniatkan untuk
menjatuhkan talak, jika ia menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.
Sebenarnya untuk persyaratan ini seluruh ulama
mensyaratkannya, namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup prinsipil antara
ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyyah tentang penetapan lafal-lafal yang
termasuk kategori kinayah tersebut.
Menurut ulama Syafi’iyyah . lafal “al-sarrah” dan
“alfiraq” termasuk kategori lafal sharih-selain lafal “al-thalaq” itu sendiri
sehingga apabila dua lafal diatas diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya
maka talaknya sah tanpa memerlukan niat.[9]
Alas an mereka adalah karena tiga
lafal tersebut-al-thalaq, al-sarrah, dan alfiraq, disebutkan dalam
Al-Quran dan
oleh karenanya diakui oleh syara’.
Sedangkan
menurut ulama hanafiyyah lafal “al-sarrah” dan “‘al-Firaq” tidak
termasuk lafal sharih. Menurut mereka, lafal sharih itu hanya satu, yaitu “al-Thalaq“.
Oleh karena kedua lafal tersebut merupakan lafal kinayah menurut ulama
Hanafiyyah, maka apabila diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya, mesti
ada niat dari suaminya untuk keabsahan talak tersebut, alas an mereka adalah
karena kedua lafal tersebut, meskipun digunakan oleh syar’I dalam Al-Quran,
dipakaikan juga kepada kata lain, selain untuk melepaskan ikatan perkawinan. Sedangkan pengertian lafal sharih menurut mereka adalah:
“Lafal
sharih adalah lafal yang tidak digunakan, kecuali untuk pengertian untuk
melepaskan ikatan pernikahan”
2. Syarat-syarat yang terdapat pada
wanita adalah bahwa wanita tersebut adalah miliknya atau masih berada dalam
masa ‘iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menjatuhkan talak
kepada wanita yang bukan isterinya atau tidak berada dalam masa ‘iddah maka
talaknya tidak sah. Ketentuan ini berdasarkan kepada
hadits Nabi SAW, di antaranya adalah:
عن عمرو بن سعيب عن أبيه عن جده قال
قال رسول الله ص.م لا نذر لابن آدم فيما لا يملك ولا عتق له فيما لا يملك ولا طلق
له بيما لا يملك (أخرجه أبوا داود والترمذي وصححه ونقل عن البخاري أنه أصح ما رواه
فيه)
“Diterima dari ‘Amru Bin Syu’aib, dari Bapaknya dari kakeknya, ia berkata
bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi
anak adam (manusia) terhadap nadzar yang tidak ia miliki, tidak ada kemerdekaan
budak baginya terhadap apa yang tidak ia miliki dan tidak ada talak baginya
terhadap apa yang tidak ia miliki” (H.R. Abu Daud dan al-Tirmidzi
men-shahih-kannya dinukilkan dari al-Bukhari bahwa hadits ini adalah hadits yang
paling shahih tentang topik ini)
3. Syarat-syarat yang terdapat pada
rukun itu sendiri, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna’
(pengecualian), baik pengecualian tersebut bersifat wadh’I maupun ‘urfiiy.
Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir
pengecualian yang menggunakan huruf istitsna’ seperti: dan lain-lain, sedangkan
pengcualian yang bersifat ‘urfi adalah pengecualian yang tidak menggunakan
huruf istitsna’ namun mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT (menggunakan
kalimat إن
شاء الله).
b. Lafal tersebut tidak ada madhrub
fih. Apabila ada Madhrub fih maka tidak jatuh dan yang jatuh hanya madhrub saja
menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Sedang menurut Zufar, tidak
adanya madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya, apabila dalam
kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh talak sesuai
madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata kepada isterinya:أنت طالق واحدة فى ثلاث وأنت طالق
واحدة فى الثنتين atau أنت طالق اثنتين ف الثنتين (Kamu ditalak satu kali dua, kamu ditalak satu kali tiga
atau kamu ditalak dua kali dua). Namun contoh diatas, madhrub fihnya adalah اثنتين, ثلاث dan اثنتين.[33] Jadi apabila seorang suami menjatuhkan talak
isterinya dengan kalimat seperti diatas, maka menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf
dan Muhammad talaknya tidak sah. Namun menurut zufar talaknya sah sehingga pada
contoh pertama talaknya jatuh 2 (1 x 2), pada contoh kedua talknya jatuh 3 (1 x
3) dan pada contoh ketiga talaknya jatuh 4 (2 x 2). Adapun menurut ulama
Syafi’iyyah, hukumnya tergantung kepada yang diniatkannya.
c. Syarat yang terdapat pda waktu,
yaitu berlalu masa Ila’ yang mana masa tersebut (Empat Bulan) merupakan
syarat terjadinya talak dengan cara ila’ dan talak tidak jatuh sebelum habis
masa itu.
Demikianlah
syarat-syarat yang mesti terpenuhi untuk kebiasaan talak yang dijatuhkan oleh
seorang suami kepada isterinya, disamping mestinya terpenuhi rukun talak itu,
menurut para ulama dari kalangan Hanfiyyah sehingga talak yang dijatuhkan
tersebut mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hokum.
Adapun menurut jumhur ulama, disyaratkan pada setiap rukun
talak yang telah mereka kemukakan itu beberapa syarat sebagai berikut[10]:
a. Syarat-syarat yang terdapat pada
orang yang menjatuhkan talak adalah:
Orang
yang menjatuhkan talak tersebut mesti mempunyai hubungan pernikahan dengan
orang yang menjatuhkan talaknya. Maksudnya, talak itu dijatuhkan oleh
seorang suami kepada isterinya. Adapun dasrnya adalah Hadits Nabi SAW berikut:
“Diterima
dari Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak ada
talak kecuali setelah ada pernikahan dan tidak ada memerdekakan budak kecuali
setelah ada pemiliknya” (H.R., Abu Ya’la dan Hakim men-shahihkan-nya)
Suami
tersebut mesti orang yang mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah talak yang
dijatuhkan oleh orang gila dan anak kecil, baik yang belum mumayyiz maupun yang
telah mumayyiz. Hanya ulama Hanabillah yang menyatakan sahnya talak mumayyiz
walaupum umurnya belum sampai 10 tahun
Jumhur
ulama juga sepakat berpendapat bahwa ikhtiyar-nya suami termasuk keabsahan
talak. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa
tidak sah. Disamping itu, khusus ulama malikiyyah mensyaratkan suami mesti
seorang muslim.
Talak
yang dijatuhkan oleh suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga tidak
sah dan karenanya tidak mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hukum.
b. Syarat yang terdapat pada adanya unsure
kesengajaan adalah bahwa suami meniatkan untuk menjatuhkan talak apabila ia
tidak mengucapkan lafaz talak yang termasuk dalam kategori sharih.
c. Syarat yang terdapat pada tempat
menjatuhkan talak atau isteri adalah bahwa isteri tersebut memang benar
isteriny bukan isteri orang lain walaupun belum disetubuhi, atau isterinya
tersebut masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy. sebab talak raj’iy
tidak menghilangkan ikatan pernikahan, kecuali ‘iddahnya habis. Syarat yang
terdapat pada al-wilayah ‘ala mahal al-thalaq, (menguasai tempat menjatuhkan
talak) yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah.
Perlu di jelaskan disini bahwa syarat
ini menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah berfungsi untuk menjelaskan furu’
dari rukun yang ketiga terdahulu, yaitu mahal al-thalaq. Maksudnya syarat ini
menjelaskan hukum menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya, dimana
talaknya sebelum laki-laki tersebut menikahinya berbeda kejadiannya setelah ia
menikahinya. Dalam formulasi fikih para fuqaha meletakkan pembahasan ini dalam
thema pengaitan talak atas kepemilikan.
Jadi menurut ulama Syafi’iyyah dan
ulama Hanabilah, apabila seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita: إن تزوجتك فأنت طالق
(jika aku menikahimu maka engkau tertolak), maka talaknya tidah sah. Sebab laki-laki tersebut tidak
menguasai wanita itu, dan karenanya tidak memenuhi rukun ke-empat ini.
Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah yang tidak
menjadikan poin ini menjadi rukun, berpendapat lain tentang pengaitan talak
atas kepemilikan tersebut.[11]
Menurut ulama Hanafiyyah, talaknya jatuh jika laki-laki itu menikahi wanita
tersebut. Sementara ulama Malikiyyah berpendapat, apabila laki-laki itu
mengucapkan lafal tersebut secara umum kepada seluruh wanita seperti pada
contoh di atas maka talaknya tidah jatuh, namun jika ia mengkhususkannya
seperti laki-laki itu tersebut berkata: كل امرأة أتزوجها من بني فلان أو من بلد كذا فهي طالق (setiap wanita
yang aku nikahi dari Bani Fulan atau dari negeri anu maka ia tertalak), maka
jatuh talaknya. Adapun alasan pembedaan antara lafal
yang bersifat umum dan khusus oleh ulama Malikiyyah itu adalah istihsan bi
al-mashlahah.
4. Syarat yang terdapat pada lafal adalah:
a. menggunakan lafal yang bermakna
talak, baik secara etimologi maupun ‘urfi atau baik melalui tulisan
maupun isyarat yang dapat difahami.
b. orang yang menjatuhkan talak itu
memahami makna lafal itu.
c. lafal talak itu disandarkan kepada
istrinya dalam kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
'Abd al-Baqiy,Muhammad
Fu`ad Sunan Ibn Majah. (Beirut: al-Maktabah
al-'Ilmiyyah, t.th.). Jilid 1.
'Abdillah Ibn
Muhammad Ibn Ahmad al-Thayyar dan Muhamamd Ibn Musa Ibn 'Abdillah al-Musa, Fatawa
al-Thalaq. (Riyadh: Dar al-Wathan. 1417 H).
Juz 1.
Al-Ghazaliy Muhammad
bin Muhammad Abi Hamid. al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab al-Imâm al-Syâfi'iy. (Beirut: Dar al-Fikr. 1994).
Ali, Burhan
al-Din Abi al-Hasan ' Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy. al-Hidayah
Syarh Bidayat al-Mubatadi`. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. 1990). Juz
1.
Al-Jaziriy, Abdurrahman al-Fiqħ
'Ala Madzâħib al-Arba'aħ. (Beirut: Dar al-Fikr.
1990). Juz 4.
Al-Kahlaniy, Muhammad
Ibn Isma'il Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm.
(Bandung: Dahlan, t.th.).
Al-Kasaniy, 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud. Bada`i' wa al-Shana`i'. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.). Juz 3.
Al-Zarqa`, Muhammad Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah. (Damaskus: Dar al-Qalam. 1996). cet. Ke-4.
Al-Zuhayliy Wahbah, al-Fiqh
al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr. 1989). cet. Ke-3. Juz 7.
Mathrajiy,
Mahmud al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy. (Beirut: dar
al-Fikr. 2000). Juz 18.
Muhammad Syams
al-Din Abi 'Abdillah Ibn Abi Bakr (Ibn Qayyim al-Jawziyyah). I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-'Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr. 1977). Juz 2.
[1] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i'
wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, h. 98
[2] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa
Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 361-362
[3] Muhammad
al-Zarqa`, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam,
1996), cet. Ke-4, h. 351
[4] Muhammad Ibn Isma'il
al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm,
(Bandung: Dahlan, t.th.), h. 176
[5] Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah
al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 659
[6] Muhammad bin Muhammad
Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab al-Imâm al-Syâfi'iy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289
[7] Abdurrahman al-Jaziriy,
al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h.
280.
[8] Syams
al-Din Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakr (Ibn Qayyim al-Jawziyyah), I'lam
al-Muwaqi'in Rabb al-'Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Juz 2, hlm: 49.
[9] Burhan al-Din Abi al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy
al-Marghinaniy, al-Hidayah Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar
al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz 1, h. 251
[10] Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh
al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy, (Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz 18, h.
192.
[11] 'Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Thayyar dan
Muhamamd Ibn Musa Ibn 'Abdillah al-Musa, Fatawa al-Thalaq, (Riyadh: Dar
al-Wathan, 1417 H), Juz 1, h. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar