Selasa, 04 Oktober 2016

Hukum Memberikan Nafkah,Tempat Tinggal,Pakaian Terhadap Istri Yang diTalak



Disusun Oleh :
1.      Alfi Nur Rohmah
2.      Nikmatul Khasanah
3.      Rahmat Syafi’i
4.      Siti Aisyah
5.      Tia Marsela

Hukum Memberikan Nafkah,Tempat Tinggal,Pakaian Terhadap Istri Yang diTalak
                                                                                                        
Para Ulama sepakat bahwa nafkah berupa pakaian dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak raj’iy (bisa dirujuk) adalah wajib karena sang wanita itu masih berstatus istri. Para Ulama juga sepakat tentang wanita yang sudah ditalak bain dan wanita itu hamil, wanita itu tetap mendapatkan nafkah. [1] tetapi mereka berbeda pendapat mengenai yang ditalak bai’n dalam keadaan tidak hamil.
Ø  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ia berhak mendapat perumahan beserta nafkah. Ini juga menjadi pendapat Umar Ibnu Khattab, Umar Ibnu Abd Aziz, Sauri dan lain-lain. Ulama Hanafiyah juga berdalil dengan kitab, sunnah dan logika.
Adapun dalil dari sunnah diantaranya hadis dalam sahih muslim dari Abi Ishaq ia berkata, pernah saya duduk dimasjid bersama Aswad bin Yazid, dan bersama kami ada Sya’bi, maka Sya’bi  menceritakan hadis fatimah binti Qais bahwa Rasulullah Saw tidak menetapkan untuknya nafkah dan Perumahan. Kemudian Aswad mengambil segenggam kerikil dan melemparnya seraya mengatakan. “Celaka engkau, adakah patut engkau menceritakan serupa itu?” Umar r.a telah berkata. “Jangan engkau meninggalkan kitab Tuhan kita dan Sunnah Nabi kita, karena perkataan seseorang perempuan yang engkau tidak mengetahui apakah ia ingat betul atau ia lupa. Ia mempunyai hak perumahan dan nafkah. Allah berfirman :
( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ  


“Jangan engkau mengeluarkan mereka dari rumah mereka dan Jangan mereka keluar, kecuali mereka melakukan perbuatan yang keji yang nyata. (QS.At-Thalaq:1)
     Itu menunjukkan bahwa Umar memahami ayat al-Qur’an itu umum mencakup semua wanita yang ditalak sebagaimana yang telah kami terangkan. Juga menerangkan bahwa menurut sunnah nabi ia berhak nafkah dan perumahan. [2]
Adapun dalil secara secara logika ialah bahwa nikmat wajib nafkah perumahan bagi yang ditalak raj’i dan ba’in yang hamil, pasti terdapat pada yang ditalak ba’in. Oleh karena itu hukum yang diberikan kepada yang pertama harus diberikan pula kepada yang kedua.  [3]
Ø  Imam Ahmad berpendapat bahwa ia tidak berhak apa-apa baik nafkah. Maupun tempat tinggal. Ia juga pendapat Daud, Abi Saur satu jemaah. Ini mengambil dalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh sya’bi dari fatimah binti qais dari Nabi Saw, tentang wanita yang ditalak tiga, Nabi bersabd                                                                                                        ليس لها سكني ولانفقة

“Ia tidak mempunyai hak perumahan dan tidak nafkah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim.
 Dan pada satu riwayat dari jama’ah kecuali Bukhari, fatimah berkata,”Suami saya telah menceraikan saya dengan talak tiga, maka Rasulullah tidak menetapkan untuk saya tempat tinggal dan tidak nafkah. “ [4]
    Mereka mengatakan bahwa kisah Fatimah binti Qais adalah diriwayatkan dari banyak sanad dan Para Ulama telah menjadikannya sebagai dasar pokok untuk sejumlah hukum, dan tidak diketahui oleh seorang ulama pun yang tidak mengambil dalil dengan hadis itu dalam sesuatu sudut. Dengan hadis itu telah diambil hujjah oleh orang yang mengatakan boleh dikumpulkan tiga talak sekaligus.
Ø  Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ia hanya berhak tempat tinggal, tetapi tidak berhak nafkah. Ini mengambil dalil bahwa Firman Allah : QS.At.Talaq:1, itu adalah umum, ia mewajibkan tempat tinggal bagi semua wanita yang diceraikan, baik talak Raj’i atau talak ba’in, selama ia dalam iddah karena bertahan disebabkan hak suami. Gugurnya wajib nafkah adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh malik dalam muwatta’ dari hadis Fatimah bin Qais :
ليس لك عليه نفقة  
“Tidak wajib atasnya nafkah untukmu”.
Dan Nabi menyuruhnya ber-iddah dirumah Ibni Ummi Maktum, Nabi tidak menyebut gugurnya hak perumahan maka kekallah ayat menurut umumnya. Adapun Perintah Nabi supaya ia ber-iddah dirumah Ibnu Ummi maktum, karena Fatimah itu suka mencela keluarga suaminya. [5]
Ø  Sebaliknya satu jema’ah berpendapat bahwa ia berhak nafkah, tetapi tidak berhak perumahan. Demikian suatu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat yang berhak mfkah mendasarkan kepada firman Allah swt.
ÏM»s)¯=sÜßJù=Ï9ur 7ì»tFtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã šúüÉ)­GßJø9$# ÇËÍÊÈ  


“Hak bagi wanita yang diceraikan menerima matq(harta benda) menurut yang makruf, merupakan kewajiban orang-orang yang takwa”
(QS.Al-Baqarah:241) [6]
Dan firman Allah
Ÿwur £`èdr!$ŸÒè?  
“Dan jangan kamu memberi melarat mereka”. (QS.At.Talaq:6)
Mereka mengatakan lafadz  متاعmencakup nafkah, dan Allah telah menjadikannya hak kedua bagi wanita yang diceraikan dan kewajiban para suami dengan sebab takwa dan menghindari kemelaratan. Sebagimana telah ditunjukkan oleh larangan memberi melarat.
Alasan mereka tidak wajib diberikan tempat tinggal karena firman Allah. (At.Talaq:6)
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y
“Beri tempatlah kepada mereka dimana kamu bertempat tinggal”
Hanya mewajibkan tempat tinggal dimana suami tinggal, sedang itu tidak mungkin terhad wanita yang ditalaq ba’in.
      Adapun pendapat para ulama tentang wanita yang ditinggal mati suaminya dalam massa iddah adalah:
Ø  Berdasarkan mazhab Maliki seorang istri yang menjalankan iddah karena kematian suami tidak berhak atas nafkah hidup. Tetapi dia berhak memperoleh biaya akomodasi kalau dia menempati rumah yang dimiliki oleh suaminya.
Ø  Abu Hanifah berkata bahwa dia juga tetap berhak memperoleh nafkah. Seorang istri tidak boleh meniggalkan rumahnya, baik karena cerai atau suaminya wafat, sampai habis massa iddahnya yang telah ditetapkan.
Ø  Istri tidak  berhak menuntut nafkah yang lalu kecuali dalam mazhab Syafi’i. Dalam hal ini syi’ah sependapat denagn Syafi’i.[7]



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rahman I , Perkawinan dalam Syari’at Islam, 1996. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad Ibnu Rasyid. Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid.2006 . Kairo: Darul Salam
Slamet Abidin, H.Aminuddin, Fiqh Munakahal.1999. Bandung:Pustaka Setia.
Syekh Mahmud Syaitud, Syekh M.Ali As-Sayis. Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqh. 2005. Jakarta:Bulan Bintang
Syekh Mahmud Syaitud, Syekh M.Ali As-Sayis. Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih.1985.Jakarta:Bulan Bintang. 



[1] Slamet Abidin, H.Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung:Pustaka Setia, 1999) hlm.141
[2] Syekh Mahmud Syaitud, Syaikh M.Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih (Jakarta:Bulan Bintang,1985) hlm. 243-244
[3]Ibid, hlm. 244
[4]Abdul Rahman 1, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hlm. 133
[5]Muhammad Ibnu Rasyid, Bidayah Al-Mustahid Wa Nihayatul Muqtashid (Kairo:Darus Salam,2006). Hal.76
[6]Syekh Mahmud Syaitud, Syaikh M.Ati QS-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih (Jakarta:Bulan Bintang,2005) hal.145-146
[7] Abdul Rahman 1, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hlm. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar