Disusun Oleh :
1. Alfi
Nur Rohmah
2. Nikmatul
Khasanah
3. Rahmat
Syafi’i
4. Siti
Aisyah
5. Tia
Marsela
Hukum
Memberikan Nafkah,Tempat Tinggal,Pakaian Terhadap Istri Yang diTalak
Para
Ulama sepakat bahwa nafkah berupa pakaian dan tempat tinggal bagi wanita yang
ditalak raj’iy (bisa dirujuk) adalah wajib karena sang wanita itu masih
berstatus istri. Para Ulama juga sepakat tentang wanita yang sudah ditalak bain
dan wanita itu hamil, wanita itu tetap mendapatkan nafkah. [1]
tetapi mereka berbeda pendapat mengenai yang ditalak bai’n dalam keadaan tidak
hamil.
Ø Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ia berhak mendapat perumahan beserta nafkah. Ini
juga menjadi pendapat Umar Ibnu Khattab, Umar Ibnu Abd Aziz, Sauri dan
lain-lain. Ulama Hanafiyah juga berdalil dengan kitab, sunnah dan logika.
Adapun dalil dari
sunnah diantaranya hadis dalam sahih muslim dari Abi Ishaq ia berkata, pernah
saya duduk dimasjid bersama Aswad bin Yazid, dan bersama kami ada Sya’bi, maka
Sya’bi menceritakan hadis fatimah binti
Qais bahwa Rasulullah Saw tidak menetapkan untuknya nafkah dan Perumahan.
Kemudian Aswad mengambil segenggam kerikil dan melemparnya seraya mengatakan.
“Celaka engkau, adakah patut engkau menceritakan serupa itu?” Umar r.a telah
berkata. “Jangan engkau meninggalkan kitab Tuhan kita dan Sunnah Nabi kita,
karena perkataan seseorang perempuan yang engkau tidak mengetahui apakah ia
ingat betul atau ia lupa. Ia mempunyai hak perumahan dan nafkah. Allah berfirman
:
( w Æèdqã_ÌøéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ wur Æô_ãøs HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 w Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºs #\øBr& ÇÊÈ
“Jangan engkau mengeluarkan mereka dari
rumah mereka dan Jangan mereka keluar, kecuali mereka melakukan perbuatan yang
keji yang nyata. (QS.At-Thalaq:1)
Itu menunjukkan bahwa Umar memahami ayat al-Qur’an itu umum mencakup
semua wanita yang ditalak sebagaimana yang telah kami terangkan. Juga
menerangkan bahwa menurut sunnah nabi ia berhak nafkah dan perumahan. [2]
Adapun dalil secara
secara logika ialah bahwa nikmat wajib nafkah perumahan bagi yang ditalak raj’i
dan ba’in yang hamil, pasti terdapat pada yang ditalak ba’in. Oleh karena itu
hukum yang diberikan kepada yang pertama harus diberikan pula kepada yang
kedua. [3]
Ø Imam
Ahmad berpendapat bahwa ia tidak berhak apa-apa baik nafkah. Maupun tempat
tinggal. Ia juga pendapat Daud, Abi Saur satu jemaah. Ini mengambil dalil
dengan hadis yang diriwayatkan oleh sya’bi dari fatimah binti qais dari Nabi
Saw, tentang wanita yang ditalak tiga, Nabi bersabd
ليس لها سكني ولانفقة
“Ia tidak mempunyai hak perumahan dan
tidak nafkah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim.
Dan pada satu riwayat dari jama’ah kecuali
Bukhari, fatimah berkata,”Suami saya telah menceraikan saya dengan talak tiga,
maka Rasulullah tidak menetapkan untuk saya tempat tinggal dan tidak nafkah. “ [4]
Mereka mengatakan bahwa kisah Fatimah binti Qais adalah diriwayatkan
dari banyak sanad dan Para Ulama telah menjadikannya sebagai dasar pokok untuk
sejumlah hukum, dan tidak diketahui oleh seorang ulama pun yang tidak mengambil
dalil dengan hadis itu dalam sesuatu sudut. Dengan hadis itu telah diambil
hujjah oleh orang yang mengatakan boleh dikumpulkan tiga talak sekaligus.
Ø Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ia hanya berhak tempat tinggal, tetapi
tidak berhak nafkah. Ini mengambil dalil bahwa Firman Allah : QS.At.Talaq:1,
itu adalah umum, ia mewajibkan tempat tinggal bagi semua wanita yang
diceraikan, baik talak Raj’i atau talak ba’in, selama ia dalam iddah karena
bertahan disebabkan hak suami. Gugurnya wajib nafkah adalah berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh malik dalam muwatta’ dari hadis Fatimah bin Qais :
ليس لك عليه نفقة
“Tidak wajib atasnya nafkah untukmu”.
Dan Nabi menyuruhnya ber-iddah dirumah
Ibni Ummi Maktum, Nabi tidak menyebut gugurnya hak perumahan maka kekallah ayat
menurut umumnya. Adapun Perintah Nabi supaya ia ber-iddah dirumah Ibnu Ummi
maktum, karena Fatimah itu suka mencela keluarga suaminya. [5]
Ø Sebaliknya
satu jema’ah berpendapat bahwa ia berhak nafkah, tetapi tidak berhak perumahan.
Demikian suatu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat yang berhak mfkah mendasarkan
kepada firman Allah swt.
ÏM»s)¯=sÜßJù=Ï9ur 7ì»tFtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã úüÉ)GßJø9$# ÇËÍÊÈ
“Hak bagi wanita yang diceraikan
menerima matq(harta benda) menurut yang makruf, merupakan kewajiban orang-orang
yang takwa”
(QS.Al-Baqarah:241)
[6]
Dan
firman Allah
wur £`èdr!$Òè?
“Dan jangan kamu memberi melarat
mereka”. (QS.At.Talaq:6)
Mereka mengatakan lafadz متاعmencakup
nafkah, dan Allah telah menjadikannya hak kedua bagi wanita yang diceraikan dan
kewajiban para suami dengan sebab takwa dan menghindari kemelaratan. Sebagimana
telah ditunjukkan oleh larangan memberi melarat.
Alasan mereka tidak wajib diberikan tempat
tinggal karena firman Allah. (At.Talaq:6)
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y
“Beri tempatlah kepada mereka dimana
kamu bertempat tinggal”
Hanya mewajibkan tempat tinggal dimana
suami tinggal, sedang itu tidak mungkin terhad wanita
yang ditalaq ba’in.
Adapun
pendapat para ulama tentang wanita yang ditinggal mati suaminya dalam massa
iddah adalah:
Ø Berdasarkan
mazhab Maliki seorang istri yang menjalankan iddah karena kematian suami tidak
berhak atas nafkah hidup. Tetapi dia berhak memperoleh biaya akomodasi kalau
dia menempati rumah yang dimiliki oleh suaminya.
Ø Abu
Hanifah berkata bahwa dia juga tetap berhak memperoleh nafkah. Seorang istri
tidak boleh meniggalkan rumahnya, baik karena cerai atau suaminya wafat, sampai
habis massa iddahnya yang telah ditetapkan.
Ø Istri
tidak berhak menuntut nafkah yang lalu
kecuali dalam mazhab Syafi’i. Dalam hal ini syi’ah sependapat denagn Syafi’i.[7]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Rahman I , Perkawinan dalam Syari’at Islam,
1996. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad Ibnu Rasyid. Bidayah Al-Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid.2006 . Kairo: Darul Salam
Slamet Abidin, H.Aminuddin, Fiqh Munakahal.1999.
Bandung:Pustaka Setia.
Syekh Mahmud Syaitud, Syekh M.Ali As-Sayis.
Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqh. 2005. Jakarta:Bulan Bintang
Syekh Mahmud Syaitud, Syekh M.Ali As-Sayis.
Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih.1985.Jakarta:Bulan Bintang.
[1] Slamet
Abidin, H.Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung:Pustaka Setia, 1999) hlm.141
[2] Syekh
Mahmud Syaitud, Syaikh M.Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih
(Jakarta:Bulan Bintang,1985) hlm. 243-244
[3]Ibid,
hlm. 244
[4]Abdul
Rahman 1, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hlm.
133
[5]Muhammad
Ibnu Rasyid, Bidayah Al-Mustahid Wa Nihayatul Muqtashid (Kairo:Darus
Salam,2006). Hal.76
[6]Syekh
Mahmud Syaitud, Syaikh M.Ati QS-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam masalah fiqih
(Jakarta:Bulan Bintang,2005) hal.145-146
[7] Abdul
Rahman 1, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hlm.
132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar