IDDAH
Disusun oleh
1. Agung Aji Saputra (210313045)
2. Khamidah (210313049)
3. Aulia Miftahul H(210313059)
4. Siti Romaidah(210313057)
A.
Pengertian
Iddah
Kata ‘iddah berasal dari bahasa Arab “al-Adad” berarti bilangan dan dalam istilah
syariat ia berarti suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi
setelah kematian suaminya atau bercerai darinya[1]. Sedangkan secara istilah ada beberapa
pendapat,yaitu sebagai berikut:
Menurut
ulama Hanafiah iddah adalah masa yang ditentukan syara’ karena sisa-sisa dari
pernikahan atau persetubuhan[2]. Menurut
Malikiyah iddah adalah masa dilarang melakukan pernikahan yang disebabkan
perceraian, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan[3]. Menurut
Syafi’iyah iddah adalah masa penantianseorang wanita untuk mengetahui kesucian
rahim, untuk beribadah atau untuk berkabung atas kematian suami[4]. Menurut
Hanabillah iddah adalah masa penantian yang ditentukan oleh syara[5].
Sedangkan
menurut Wahbah Az- Zuhaili iddah adalah masa yang ditentukan syara’ setelah
perceraian , dimana hal itu wajib bagi wanita untuk menunggu dalam masa itu
dengan tidak boleh menikah kembali sampai masa tersebut selesai[6].
B. Waktu lamanya iddah
1.
Perempuan yang sedang hamil, apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa iddahnya adalah sampai anak itu
lahir dari kandungannya, firman Alloh:
4
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r&
br& z`÷èÒt
£`ßgn=÷Hxq
4
Artinya : “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”.
(QS: At- Tholaq : 4)
2.
Perempuan
yang tidak hamil apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa
iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Firman Alloh SWT:
tûïÏ%©!$#ur
tböq©ùuqtFã
öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør&
z`óÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör&
9åkôr&
#Zô³tãur (
Artinya: “ orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari” (QS.Al-Baqarah: 234)
3. Perempuan yang dicerai suaminya kalau
mempunyai haid, iddahnya adalah tiga kali suci, untuk menghitung tiga kali suci
ialah kalau waktu cerai dalam keadaan suci dan selama suci tidak dicampuri oleh
suaminya, maka sewaktu suci perceraian itu terhitung satu kali.
4. Apabila didalam suci waktu perceraiannya telah
dicampuri suaminya, maka suci yang pertama dihitung dari sejak sucinya sesudah
haid yang pertama sesudah perceraian. Begitu juga perceraian yang terjadi di
waktu haid, terhitung tiga kali sucinya dari sucinya sesudah haid yang terjadi
sewaktu perceraian itu, firman Alloh:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya: “ wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.( QS. Al- Baqoroh: 228)
5. Perempuan yang dicerai mandul atau sudah
lanjut usia dan tidak pernah haid lagi, sehingga tidak mungkin diharapkan akan
bisa hamil, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Alloh:[7]
Ï«¯»©9$#ur
z`ó¡Í³t
z`ÏB
ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ)
óOçFö;s?ö$#
£`åkèE£Ïèsù
èpsW»n=rO 9ßgô©r&
Ï«¯»©9$#ur óOs9
z`ôÒÏts
4
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Tholaq: 4)
6. Perempuan yang diceraiakn suaminya sebelum
dicampuri maka tidak ada iddahnya. Firman Alloh:
¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.( QS. Al-Ahzab: 49)
Adapun perincian dari dari hal-hal diatas
adalah sebagai berikut[8]:
a. Wanita yang harus menjalani masa iddah dalam
bentuk hingga melahirkan.
(فر ع) kalau kandungannya ada
dua bayi maka iddahnya sampai keluar yang terakhir, (menurut kesepakatan ulama
madzhab). Tetapi jika keguguran, maka mereka berbeda pendapat yaitu sebagai
berikut:
1. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali: wanita
tersebut belum keluar dari iddahnya.
2. Imamiyah dan Maliki: wanita tersebut telah
keluar dari iddahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu berupa sepotong
daging kecil, selama potongan itu adalah
embrio wanita.
Adapun batas maksimal kehamilan ialah:
1. Menurut Hanafi: 2 tahun
2. Menurut Syafi’i dan Hambali : 4 tahun
3. Menurut Maliki: 5 tahun
b. Iddah 3 hilaliah (berdasarkan perhitungan
bulan), yakni bagi wanita yang baligh tetapi tidak pernah haid sama sekali,
serta wanita yang menopause.
·
Menurut Maliki : wanita menopause adalah 70 tahun
·
Menurut Hambali dan Hanafi: 50 tahun
·
Menurut Syafi’i: 62 tahun
·
Menurut Imamiyah : 60 tahun (wanita quraisy) dan 50 tahun (wanita non
quraisy)
Sedang istri yang telah dicampuri sebelum
usianya 9 tahun, menurut imam madzhab sebagai berikut:
·
Menurut Hanafi: wajib menjalani iddah sekalipun dia masih kecil.
·
Menurut Maliki : dan syafi’i : bagi
yang belum kuat (layak) dicampuri maka tidak wajib iddah, tetapi wajib bagi
yang sudah bisa dicampuri walaupun belum berusia 9 tahun.
·
Menurut Imamiyah dan Hambali: tidak wajib iddah bagi yang belum berusia 9
tahun sekalipun sudah kuat dicampuri[9].
c. Iddah Quru’ yaitu bagi wanita yang telah
mancapai usia 9 tahun, tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid.
Menurut pendapat ulama Madzhab:
1. Imamiyah , Maliki dan syafi’i
menginterprestasikan quru’ dengan masa suci ( tidak haid)sehingga bila wanita
tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut
dihitung sebagai bagian dari masa iddah, yang disempurnakan dengan 2 masa suci
sesudahnya.
2. Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan
masa haid, sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah( dalam
menyelesaikan masa iddah). Sesudah di talak tidak termasuk masa haid ketika ia
ditalak[10].
C. Batas Maksimal Iddah
Wanita yang telah dewasa tetapi dia belum
pernah haid sama sekali, maka bila ia diceraikan suaminya, iddahnya adalah 3 bulan
(menurut ulama Madzhab). Tetapi bila dia
mengalami haid lalu berhenti akibat menyusui tau sakit maka:
·
Menurut Hambali dan Maliki: iddahnya
adalah setahun penuh
·
Menurut Syafi’i: dalam qoul jadid
wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga ia mengalami haid atau
memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama 3 bulan.
·
Menurut Hanafi: bila ia mengetahui 1 kali haoid, lalu karna sakit atau
menyusui, haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi mengalami haid, maka
ia tidak keluar dari iddahnya sampai dia memasuki masa menopause.
Jadi menurut Syafi’i, Hanafi masa iddah dapat
berlanjut selama 40 tahun.
·
Menurut Imamiyah: apabila karena sesuatu sebab dia mengalami suatu
keterputusan haid, lalu ia ditalak, maka iddahnya 3 bulan. Kalau ternyata ia
haid lagi sesudah ditalak, maka iddahnya adalah salah satu diantara dua jenis
iddah berikut: yang terlebih dahulu ia selesaikan, yaitu 3 bulan penuh atau 3
kali quru’, artinya, kalau ia terlebih dahulu bisa menyelesaikan 3 kali quru’ sebelum 3 bulan penuh, maka
iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula bila ia telah melewati 3 bulan penuh
tapi belum menyelesaikan 3 quru’, maka iddahnya pun dianggap telah selesai.
Lalu bila ia mengalami haid sebelum
menyelesaikan waktu 3 bulan penuh tapi, waktu ditinggal sekejap, maka ia harus
bersabar dengan masa iddah 9 bulan. Jadi tidak ada gunanya iddah 3 bulan tanpa
haid yang terjadi sesudah itu. Sesudah 9 bulan tersebut bila ia melahirkan
sebelum 1 tahun berarti ia tidak keluar dari iddah. Bila tidak melahirkan dan
tidak pula menyelesaikan 3 quru’ sebelum 1 tahun, maka dia harus menjalani
iddah 3 bulan lagi sebagai tambahan atas 9 bulan sebelumnya. Dengan demikian
jumlahnya setahun penuh. Inilah iddah maksimal di kalangan imamiyah[11].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri Abdurrahman, Kitabu Al-Fiqh ala
Al-Madzahibi Al-Arba’ah, (Libanon: Dar Al-Kutub Al Imamiyah, 1969)
Az-Zuhaili, Al-FiqhAl-Islam Wa Adilatuhu (Damaskus:
Dar Al-fikr, 1996)
Mughniyah Jawad,Muhammad, Fiqih Lima
Madzhab, (Jakarta: Lentera,2007)
Dradjat Zakiyah, dkk, Ilmu Fikih Jilid II, (Jakarta: IAIN, 1984)
Sabiq Sayid, Fikih Sunnah Jilid V, ( Bandung: PT
Al-Ma’arif)
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group)
[3]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabu Al-Fiqh ala
Al-Madzahibi Al-Arba’ah, (Libanon: Dar Al-Kutub Al Imamiyah, 1969), hlm.
516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar