Selasa, 04 Oktober 2016

PENGERTIAN IDDAH, WAKTU LAMANYA IDDAH, BATAS MAKSIMAL IDDAH




IDDAH

Disusun oleh
1.      Agung Aji Saputra (210313045)
2.      Khamidah (210313049)
3.      Aulia Miftahul H(210313059)
4.      Siti Romaidah(210313057)
A.  Pengertian Iddah
Kata ‘iddah berasal dari bahasa Arab “al-Adad” berarti bilangan dan dalam istilah syariat ia berarti suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya[1]. Sedangkan secara istilah ada beberapa pendapat,yaitu sebagai berikut:
Menurut ulama Hanafiah iddah adalah masa yang ditentukan syara’ karena sisa-sisa dari pernikahan atau persetubuhan[2]. Menurut Malikiyah iddah adalah masa dilarang melakukan pernikahan yang disebabkan perceraian, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan[3]. Menurut Syafi’iyah iddah adalah masa penantianseorang wanita untuk mengetahui kesucian rahim, untuk beribadah atau untuk berkabung atas kematian suami[4]. Menurut Hanabillah iddah adalah masa penantian yang ditentukan oleh syara[5].
Sedangkan menurut Wahbah Az- Zuhaili iddah adalah masa yang ditentukan syara’ setelah perceraian , dimana hal itu wajib bagi wanita untuk menunggu dalam masa itu dengan tidak boleh menikah kembali sampai masa tersebut selesai[6].
B.   Waktu lamanya iddah

1.      Perempuan yang sedang hamil, apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa iddahnya adalah sampai anak itu lahir dari kandungannya, firman Alloh:
4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
Artinya : “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS: At- Tholaq : 4)
2.      Perempuan yang tidak hamil apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Firman Alloh SWT:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur (
Artinya: “ orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS.Al-Baqarah: 234)
3.      Perempuan yang dicerai suaminya kalau mempunyai haid, iddahnya adalah tiga kali suci, untuk menghitung tiga kali suci ialah kalau waktu cerai dalam keadaan suci dan selama suci tidak dicampuri oleh suaminya, maka sewaktu suci perceraian itu terhitung satu kali.
4.      Apabila didalam suci waktu perceraiannya telah dicampuri suaminya, maka suci yang pertama dihitung dari sejak sucinya sesudah haid yang pertama sesudah perceraian. Begitu juga perceraian yang terjadi di waktu haid, terhitung tiga kali sucinya dari sucinya sesudah haid yang terjadi sewaktu perceraian itu, firman Alloh:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya: “ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.( QS. Al- Baqoroh: 228)
5.      Perempuan yang dicerai mandul atau sudah lanjut usia dan tidak pernah haid lagi, sehingga tidak mungkin diharapkan akan bisa hamil, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Alloh:[7]
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Tholaq: 4)
6.      Perempuan yang diceraiakn suaminya sebelum dicampuri maka tidak ada iddahnya. Firman Alloh:
¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.( QS. Al-Ahzab: 49)
Adapun perincian dari dari hal-hal diatas adalah sebagai berikut[8]:
a.       Wanita yang harus menjalani masa iddah dalam bentuk hingga melahirkan.
(فر ع) kalau kandungannya ada dua bayi maka iddahnya sampai keluar yang terakhir, (menurut kesepakatan ulama madzhab). Tetapi jika keguguran, maka mereka berbeda pendapat yaitu sebagai berikut:
1.      Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali: wanita tersebut belum keluar dari iddahnya.
2.      Imamiyah dan Maliki: wanita tersebut telah keluar dari iddahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu berupa sepotong daging kecil,  selama potongan itu adalah embrio wanita.
Adapun batas maksimal kehamilan ialah:
1.      Menurut Hanafi: 2 tahun
2.      Menurut Syafi’i dan Hambali : 4 tahun
3.      Menurut Maliki: 5 tahun

b.      Iddah 3 hilaliah (berdasarkan perhitungan bulan), yakni bagi wanita yang baligh tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta wanita yang menopause.
·         Menurut Maliki : wanita menopause adalah 70 tahun
·         Menurut Hambali dan Hanafi: 50 tahun
·         Menurut Syafi’i: 62 tahun
·         Menurut Imamiyah : 60 tahun (wanita quraisy) dan 50 tahun (wanita non quraisy)
Sedang istri yang telah dicampuri sebelum usianya 9 tahun, menurut imam madzhab sebagai berikut:
·         Menurut Hanafi: wajib menjalani iddah sekalipun dia masih kecil.
·         Menurut Maliki :  dan syafi’i : bagi yang belum kuat (layak) dicampuri maka tidak wajib iddah, tetapi wajib bagi yang sudah bisa dicampuri walaupun belum berusia 9 tahun.
·         Menurut Imamiyah dan Hambali: tidak wajib iddah bagi yang belum berusia 9 tahun sekalipun sudah  kuat dicampuri[9].

c.       Iddah Quru’ yaitu bagi wanita yang telah mancapai usia 9 tahun, tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid.
Menurut pendapat ulama Madzhab:
1.      Imamiyah , Maliki dan syafi’i menginterprestasikan quru’ dengan masa suci ( tidak haid)sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa iddah, yang disempurnakan dengan 2 masa suci sesudahnya.
2.      Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid, sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah( dalam menyelesaikan masa iddah). Sesudah di talak tidak termasuk masa haid ketika ia ditalak[10].


C.   Batas Maksimal Iddah
Wanita yang telah dewasa tetapi dia belum pernah haid sama sekali, maka bila ia diceraikan suaminya, iddahnya adalah 3 bulan (menurut ulama Madzhab).  Tetapi bila dia mengalami haid lalu berhenti akibat menyusui tau sakit maka:
·         Menurut Hambali  dan Maliki: iddahnya adalah setahun penuh
·         Menurut Syafi’i:  dalam qoul jadid wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama 3 bulan.
·         Menurut Hanafi: bila ia mengetahui 1 kali haoid, lalu karna sakit atau menyusui, haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi mengalami haid, maka ia tidak keluar dari iddahnya sampai dia memasuki masa menopause.
Jadi menurut Syafi’i, Hanafi masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
·         Menurut Imamiyah: apabila karena sesuatu sebab dia mengalami suatu keterputusan haid, lalu ia ditalak, maka iddahnya 3 bulan. Kalau ternyata ia haid lagi sesudah ditalak, maka iddahnya adalah salah satu diantara dua jenis iddah berikut: yang terlebih dahulu ia selesaikan, yaitu 3 bulan penuh atau 3 kali quru’, artinya, kalau ia terlebih dahulu bisa menyelesaikan  3 kali quru’ sebelum 3 bulan penuh, maka iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula bila ia telah melewati 3 bulan penuh tapi belum menyelesaikan 3 quru’, maka iddahnya pun dianggap telah selesai.
Lalu bila ia mengalami haid sebelum menyelesaikan waktu 3 bulan penuh tapi, waktu ditinggal sekejap, maka ia harus bersabar dengan masa iddah 9 bulan. Jadi tidak ada gunanya iddah 3 bulan tanpa haid yang terjadi sesudah itu. Sesudah 9 bulan tersebut bila ia melahirkan sebelum 1 tahun berarti ia tidak keluar dari iddah. Bila tidak melahirkan dan tidak pula menyelesaikan 3 quru’ sebelum 1 tahun, maka dia harus menjalani iddah 3 bulan lagi sebagai tambahan atas 9 bulan sebelumnya. Dengan demikian jumlahnya setahun penuh. Inilah iddah maksimal di kalangan imamiyah[11].



DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri Abdurrahman, Kitabu Al-Fiqh ala Al-Madzahibi Al-Arba’ah, (Libanon: Dar Al-Kutub Al Imamiyah, 1969)
Az-Zuhaili, Al-FiqhAl-Islam Wa Adilatuhu (Damaskus: Dar Al-fikr, 1996)
Mughniyah Jawad,Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,2007)
Dradjat Zakiyah, dkk,  Ilmu Fikih Jilid II, (Jakarta: IAIN, 1984)
Sabiq Sayid,  Fikih Sunnah Jilid V, ( Bandung: PT Al-Ma’arif)
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group)





[1] Zakiyah Dradjat, dkk,  Ilmu Fiqih Jilid II ( Jakarta: IAIN, 1984/1985), hlm. 274
[2] Az-Zuhaili, Al-FiqhAl-Islam Wa Adilatuhu (Damaskus: Dar Al-fikr, 1996), hlm. 623
[3]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabu Al-Fiqh ala Al-Madzahibi Al-Arba’ah, (Libanon: Dar Al-Kutub Al Imamiyah, 1969), hlm. 516
[4] Ibid, hlm. 517
[5] Ibid, hlm. 518
[6] Az-Zuhaili, Al-FiqhAl-Islam Wa Adilatuhu (Damaskus: Dar Al-fikr, 1996), hlm. 625

[7] Ibid hal 626
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,2007), hlm. 465
[9]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,2007), hlm. 466
[10]  Ibid, hlm. 466
[11] Ibid, hlm. 468

Tidak ada komentar:

Posting Komentar