Selasa, 04 Oktober 2016

FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN BANI ABASYIAH



 BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada periode pertama pemerintahan bani Abbas mencapai masa kemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keadaan sangat berbeda pada periode  sesudahnya. Setelah  periode  pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain. Kecenderungan termewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan factor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.[1]
Untuk itu kami akan membahas hal tersebut dalam makalah yang berjudul “Kemunduran Dinasti Abbasiyah”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa faktor penyebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah ?
2.      Bagaimana pengaruh dari runtuhnya dinasti Abbasiyah terhadap peradaban islam?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui faktor penyebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah.
2.      Untuk mengetahui pengaruh dari runtuhnya dinasti Abbasiyah terhadap peradaban islam





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Runtuhnya Bani Abbasiyah
1.      Faktor Internal
a.       Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok, sehinnga kurang memperhatikan urusan-urusan negara. Setiap khalifah  cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan. [2]

b.      Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan di mulai sejak masa Al-Ma’mun dengan Al-Amin, di tambah dengan masuknya unsur Turki dan Parsi. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar.

c.       Konflik Agama
Konflik keagamaan ini pada dasarnya adalah hasil propaganda orang-orang Persia (karena cita-cita mereka tidak sepenuhnya tercapai) pada ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme sehingga muncullah gerakan dengan yang namanya Zindiq.[3] Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dikedua belah pihak, seperti gerakan a1-Afsyin dan Qaramithah. Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak hanya antara Muslim dan Zindiq saja, akan tetapi antara Ahlussunnah dan syi'ah, dan konflik antara aliran dalam Islam juga, seperti Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan Salaf. Adapun Fanatisme keagamaan ini sangat berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Ketika perbedaan itu tidak dapat dijadikan rahmat oleh mereka maka sudah barang tentu kehancuran yang akan didapat, karena adanya kecenderungan menganggap diri paling benar dan orang- lain salah.

d.      Kemerosotan Ekonomi
Pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti, banyaknya terjadi kerusuhan yang berdampak pada terganggunya perekonomian rakyat. Akibatnya negara menjadi miskin karena harus mengeluarkan jutaan dinar untuk membayar tentara asing yang disewa oleh khalifah Abbasiyah. Sedangkan pengeluaran membengkak disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat yang semakin mewah, ditambah lagi para pejabat yang melakukan korupsi. Disamping itu pembebanan pajak dan pengaturan wilayah-wilayah propinsi demi keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertanian dan perindustrian. Ketika para penguasa semakin kaya, rakyat justru semakin miskin.[4].

2.      Faktor Eksternal
a.       Perang Salib
Perang salib adalah perang yang dilancarkan oleh tentara-tentara Kristen dari berbagai kerajaan di Eropa barat terhadap umat islam di asia barat dan mesir. Dikatakan perang salib karena tentara Kristen membawa simbol salib dalam memerangi umat islam di berbagai wilayah.[5] Perang Salib ini dimulai dengan pidato paus urbanus II di Clermont (sebuah wilayah perancis)dengan mengobarkan api semangat umat Kristen untuk perang suci (salib) dalam rangka merebut tempat-tempat perziarahan umat Kristen dari tangan umat islam,gereja turut mendukung sepenuhnya atas perang salib dan menjamin kehidupan keluarga para keluarga dan relawan perang salib.
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[6]
b.      Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[7] Pada sekitar tahun 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada tahun 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.[8] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.[9] Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.

B.  Pengaruh Runtuhnya Dinasti Abbasiyah Terhadap Peradaban Islam
1.      Masa Disintegrasi
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Bagdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan ummat, yang berarti juga menghancurkan sumber daya manusia (SDM)[10] . Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Bagdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:
a.       Yang berbangsa Persia
1)      Thahiriyah di Kurasan (205-259 H/820-872 H
2)      Shafariyah di fars (254-290 H/868-901 M)
3)      Samaniyahy di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
4)      Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H/878-930 M)
5)      Buwaihiyyah, bahkan menguasai Bagdad (320-447 H/932-1055 M)

b.      Yang berbangsa Turki
1)      Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
2)      Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
3)      Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)
4)      Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya, seperti :
-          Seljuk besar atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rulen al-Din ini menguasai Bagdad dan memerintahkan selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M)
-          Seljuk Kaman di Kirman (433-583 H/1040-1187 M)
-          Seljuk Syria atau Syam di Syiria (487-511 H/1097-1117 M)
-          Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan (511-590 H/1117-1194 M)
-          Seljuk Rum di Asia kecil (470-700 H/1077-1299 M)

c.       Yang berbangsa Kurdi
1)      Al-barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
2)      Abu Ali (380-489 H/990-1095 M)
3)      Ayubiyah (564-648 H/1167-1250 M)

d.      Yang berbangsa Arab
1)      Idrisiyyah di Maroko (172-375 H/788-986 M)
2)      Aghlabiyah di Tunisia (184-289/800-900 M)
3)      Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
4)      Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)
5)      Hamdaniyah ddi Aleppo Maushil (317-394 H/929-1002 M)
6)      Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H/1011-1150 M)
7)      Ukailiyah di Maushil (386-489 H/996-1095 H)
8)      Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/1023-1079 M)

e.       Yang mengaku dirinya sebagai khilafah
1)      Umawiyah di Spanyol
2)      Fathimiyyah di Mesir

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilator belakangi paham keagamaan.[11]
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adanya perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan  tersebut. Ditangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bias berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945-447 H/1055 M). [12]

2.      Perang Salib
Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Kebencian ini bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut baitul Al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah kesana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanius II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.[13]
Periode pertama, disebut periode Penaklukan gerakan ini dipimpin oleh Pierre I’ermite. Sepanjang jalan menuju Konstatinopel, mereka membuat keonaran, perampokan dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hungariua dan Bizantium. Akhirnya dengan mudah, pasukan salib ini dapat dikalahkan oleh pasukan Dinasti Salkuk. Selanjutnya dipimpin oleh  Godfrey of Bovillon. Gerakan ini lebih merupakan militer yang terorganisasi rapi. Gerakan ini berhasil menduduki kota suci Palestina.
 Periode kedua, disebut periode reaksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum salib membangkitkan kaum muslimin menghimpun kekuasaan untuk menghadapi mereka.
Periode ketiga, (1193-1291) lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran didalam pasukan salib. Hal ini disebbakan oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat  materialistic daripada motivasi agama.[14]Perang salib menimbulkan beberapa akibat penting dalam sejarah dunia. Perang salib membawa Eropa terjalinnya kontak langsung dengan dunia muslim dan menimbulkan saling tukar pikiran antara kedua belah pihak. Pengetahuan orang timur yang progresif dan maju member daya dorong besar bagi pertumbuhan intelekttual Eropa barat. Hal ini melahirkan suatu bagian penting dalam menumbuhkan Renaisance di Eropa.
Keuntungan perang salib bagi Eropa adalah menambah lapangan perdagangan, mempelajari kesenia dan penemuan penting, seperti  kompas pelaut, kincir angin dan sebagainya dan orang Islam.[15]

3.      Jatuhnya Baghdad ke Tangan Bangsa Mongol
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khilafah Abbasaiayah disana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad se bagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan kebudayaan dan peradaban islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan.
Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol, tidak berhenti sampai disitu. Timur Lenk, menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam selama keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar: Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia.[16]

4.      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemuncuran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemuncuran di bidang politik. Pada periode pertama pemerintahan bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya setelah khilafah memasuki periode yang kaya setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih bebsar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh menyempatinya wilayah kekuasaan.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit. Sebaliknya kondisi-kondisi yang buruk memperlemah kekuasaan politik dinasti Abbasiyah kedua factor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.[17]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Faktor internal yang mempengaruhi runtuhnya Dinasti Abbasiyah ialah kemewahan hidup di kalangan penguasa, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah, konflik antara agama, banyak terjadi kerusuhan yang berdampak pada terganggunya perekonomian.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi runtuhnya Dinasti Abbasiyah ialah terjadinya Perang Salib yang dilancarkan untuk tentara kristen dari berbagai kerajaan di Eropa Barat terhadap umat islam. 
Pengaruh runtuhnya Dinasti Abbasiyah terhadap peradaban islam ialah terjadi masa desintegrasi akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam daripada politik, provinsi- provinsi tertentu dipinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Selain itu, pengaruh perang salib menimbulkan beberapa akibat penting dalam sejarah dunia. Perang salib membawa Eropa terjalinnya kontak langsung dengan dunia muslim dan menimbulkan saling tukar pikiran antara kedua belah pihak. Pengetahuan orang timur yang progresif dan maju memberi daya dorong besar bagi pertumbuhan intelektual Eropa Barat. Hal ini melahirkan suatu bagian penting dalam menumbuhkan Renaisance di Eropa. Selain itu terdapat beberapa peninggalan budaya dan peradaban islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol.

B.     Saran
Segala puji bagi Alloh, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya, akhirnya makalah yang berjudul ”KERUNTUHAN DINASTI ABBASIYAH  dapat penulis selesaikan dengan semaksimal mungkin.
Penulis menyadari berbagai kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan yang ada, sehingga tetap ada kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan dalam penulisan dan penyajian makalah ini. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis mengharap dosen pengampu dan teman-teman untuk mengkritik makalah ini demi kebaikan makalah ini.


















DAFTAR PUSTAKA
-          Philip K.Hitti, History Of Arabs, (Jakarta; PT.SERAMBI ILMU SWASTA), 1995.
-          Amsyul bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, cet.1, (Yogyakarta, fajar media pers), 2011.
-          Ahmad, Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, (Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003)
-          al-Usyairy, Attarikh al-Islami terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar), 2003.
-          yatim, Dr.Badri . Sejarah Peradaan Islam,(Jakarta:Rajawali pers), 2011
-          Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka setia),2008.
-          Hasjmy. A, Sejarah Kebudayaan Isklam, (Jakarta; Bulan Bintang), 1995.


[1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:  Rajawali Press, 2010), 61-63.
[2]  Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Hal.137.
[3]  A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Hal.225.
[4]  Philip K.Hitti, History Of Arabs,Hal.618.
[5] Amsyul bakri,Peta Sejarah Peradaban Islam, cet.1, Yogyakarta, fajar media pers,2011, h.108.
[6] Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, (Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 411.
[7] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003). h. 258
[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h.619
[9] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003). h.259
[10]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 140.
[11] Dra Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2008 (bandung: Pustaka Setia), hal 65-67.
[12] Ibid., hal 67-69.
[13] Ibid, hal 76-77.
[14] Dedi Supriyadi,  S ejarah Peradaban Islam, 2008 (Bandung: Pustaka Setia), hal. 172-174.
[15] Ibid., hal 174-175.
[16] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2011 (Jakarta: Rajawali Press), halk 111-129.
[17] Ibid, hal 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar